alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 31 Oktober 2014

ZPT

">Hormon tumbuhan, atau pernah dikenal juga dengan nama fitohormon, adalah sekumpulan senyawa organik bukan hara , baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh manusia, yang dalam kadar sangat kecil dapat mendorong, menghambat, atau mengubah pertumbuhan, perkembangan dan atau pergerakan tumbuhan.
Hormon tumbuhan / fitohormon ini selanjutnya dikenal dengan namazat pengatur tumbuh (plant growt regulator) untuk membedakanya dengan hormon pada hewan.  Zat Pengatur Tumbuh (ZPT ) mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan  suatu tanaman.
Pada saat ini dikenal lima kelompok utama ZPT yaitu auksin (auxins), sitokinin (cytokinins), giberelin (gibberellins, GAs), etilena (etena, ETH), dan asam absisat (abscisic acid, ABA).  Auksin, Sitokinin, dan Giberelin bersifat positif bagi pertumbuhan tanaman pada konsentrasi fisiologis, etilena dapat mendukung maupun menghambat pertumbuhan, dan asam absisat merupakan penghambat (inhibitor) pertumbuhan.
ZPT sintetik ada yang memiliki fungsi sama dengan ZPT alami, meskipun secara struktural berbeda. Dalam praktik, seringkali ZPT sintetik yang dibuat manusia lebih efektif atau lebih murah bila diaplikasikan untuk kepentingan usaha tani daripada ekstraksi ZPT alami.  Yang jelas ZPT sintetik lebih praktis dalam aplikasinya dan kandungan ZPT  -nya sudah diketahui dengan pasti, berbeda dengan ZPT alami yang  belum terukur kandunganya
1.    Auksin
Auksin merupakan ZPT yang berperanan dalam perpanjangan sel pucuk/tunas tanaman. Selain memacu pemanjangan sel yang menyebabkan pemanjangan batang dan akar, peranan auksin lainnya adalah kombinasi auksin dan giberelin memacu perkembangan jaringan pembuluh dan mendorong pembelahan sel pada kambium pembuluh sehingga mendukung pertumbuhan diameter batang.
Auksin mempengaruhi pertambahan panjang batang, pertumbuhan, diferensiasi dan percabangan akar, perkembangan buah,  dominansi apikal, fototropisme dangeotropisme.
Selain itu auksin (IAA) sering dipakai pada budidaya tanaman antara lain untuk menghasilkan buah tomat, mentimun dan terong tanpa biji; dipakai pada pengendalian pertumbuhan gulma berdaun lebar dari tumbuhan dikotil di perkebunan jagung  dan memacu perkembangan meristem akar adventif dari stek mawar dan bunga potong lainnya.
2.    Sitokinin
Sitokinin berperanan dalam pembelahan sel (sitokinesis).  Golongan sitokinin, sesuai namanya, merangsang atau terlibat dalam pembelahan sel.   Senyawa dari golongan ini yang pertama ditemukan adalah kinetin.
Sitokinin alami  misalnya kinetin dan zeatin,  Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Sitokinin yang diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh xilem menuju sel-sel target pada batang. Kinetin banyak ditemui pada bulir jagung yang muda, sedangkan zeatin banyak ditemui pada air kelapa.
Sitokinin berperanan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar, mendorong pembelahan sel dan pertumbuhan secara umum, mendorong perkecambahan dan menunda penuaan.
3.    Giberelin
Giberelin merupakan ZPT yang berperan dalam mendorong perkembangan biji, perkembangan kuncup, pemanjangan batang dan pertumbuhan daun, mendorong pembungaan dan perkembangan buah, mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi akar.
Giberelin dikenal juga dengan nama asam giberelat, mempunyai  peranan dalam pembelahan sel dan atau perpanjangan sel tanaman.  Senyawa pertama yang ditemukan memiliki efek fisiologi adalah GA3 (asam giberelat 3). GA3 merupakan substansi yang diketahui menyebabkan pertumbuhan membesar pada padi yang terserangfungi Gibberella fujikuroi.
Giberelin juga berperan dalam memacu pembungaan pada beberapa tanaman, mematahkan dormansi biji serta memcu perkecambahan biji.
4.    Etena
Etena atau dikenal juga dengan nama etilena merupakan zat pengatur tumbuh  yang berwujud gas pada suhu dan tekanan ruang.  Etena berperan dalam mempercepat pemasakan buah. Contohnya dengan pemeraman merupakan usaha untuk menaikan konsentrasi etilena di sekitar jaringan buah sehingga buah cepat masak.  Contoh lainya adalah pengarbitan pada pemeramana akan usaha pembentukan asetilena (gas karbid) yang di udara akan tereduksi oleh gas hidrogen menjadi etilena.
Contoh Etilena yang sudah dibuat orang antara lain Ethepon (asam 2-kloroetil-fosfonat)  yang diperdagangkan dengan nama Ethrel dan beta-hidroksil-etilhidrazina (BOH). Etilena juga dapat menyeragamkan pembungaan pada tanaman semusim, misalnya pada tanaman nanas.
5.    Inhibitor
Inhibitor merupakan zat pengtur tumbuh yang berperan dalam penghambatan proses biokimia dan proses fisiologis bagi aktivitas keempat Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) diatas.  Secara alami Inhibitor adalah asam absisat (ABA), yang selanjutnya diproses menjadi metabolit ABA . Inhibitor sintetik yang dibuat untuk menghambat metabolisme atau menunda metabolisme tanaman antara lain MH (2-kloroetil) amonium klorida,  Contohnya Cyocel dan Chlormequat), SADH, ancymidol, asam triiodobenzoat (TIBA) dan morphacyn.
Pengenalan terhadap berbagai ZPT sangat penting agar kita lebih familiar sehingga jika mengaplikasikanya pada suatu saat nanti tidak mengala

Kamis, 30 Oktober 2014

Pola-Pola Penggunaan Lahan Kawasan Hutan

Pola-Pola Penggunaan Lahan Kawasan Hutan
a.      Kebun
Kebun adalah model penggunaan lahan yang terdiri atas tanaman tahunan antara lain pisang, coklat, cengkeh, dan merica. Biasanya masyarakat mengkombinasikan antara tanaman coklat dengan merica atau coklat dengan pisang. Pada kombinasi tanaman ini, biasanya tanaman coklatmerupakan tanaman dominan dan utama karena pengolahan dan harga yang relatif tinggi dan terkendali. Ada pula masyarakat yang menggunakan sistem monokultur dimana tanaman yang ditanam cuma coklat, cengkeh, atau merica saja.
b.      Sawah
Areal persawahan yang terdapat di Desa Pekaloa terdiri atas dua sistem, yaitu sawah irigasi non teknis dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi non teknis terdapat pada Basara dan Dusun Kampung Baru, sedang sawah tadah hujan terdapat di Dusun Matompi. Pola tanam yang diterapkan masyarakat pada sawahnya baik sawah irigasi non teknis maupun sawah tadah hujan yaitu menanam padi pada musim penghujan dan menanam jenis tanaman semusim berupa tanaman palawija seperti kacang tanah, kacang kedelai dan jagung pada musim kemarau.
c.       Tegalan
Tegalan adalah suatu usaha tani tanaman semusim atau tanaman pangan yangdilakukan secara sederhana tanpa upaya pengawetan tanah maupun penyuburan tanah. Pola ini yang banyak ditemukan di Dusun Matompi Desa Pekaloa. Pada pola ini jenis tanaman yang ditanam merupakan jenis tanaman semusim seperti jagung, kacang tanah, cabe,ubi kayu dan tomat. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan lahan kawasan hutan untuk areal perladangan/tegalan adalah areal lahan kering dengan periode tanam yang tergantung pada periode musim. Pola ini kebanyakan ditemukan di tepi jalan antar dusun, dimana kondisi lahannya kebanyakan berbatu dan kering.
d.      Wanatani Pekarangan
Pola wanatani pekarangan yang terdapat di dusun matompi desa Pekaloa berupa penanaman tanaman coklat di pekarangan sekitar rumah tempat tinggal dengan campuran tanaman gamal, merica, kelapa atau pisang. Pada pola ini, tanaman coklat dan merica dijadikan sebagai tanaman untuk perdagangan sedangkan tanaman seperti kelapa dan pisang, ataupun ubi kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun tanaman gamal yang ada pada pola ini yang diusahakan sebagai tanaman pelindung juga berfungsi sebagai tanaman pakan ternak.

e.       Pemukiman
Pemukiman merupakan suatu wilayah atau teritorial dimana masyarakat melangsungkan interkasi sosial. Pemukiman di dusun matompi sebagaimana layaknya desa – desa di Kabupaten Luwu Timur kebanyakan mengikuti jalur jalan.
f.       Hutan
Desa Pekaloa memiliki potensi hutan berupa kayu yakni damar, mahoni, pohon sagu dan nyatoh. Selain itu terdapat hasil hutan bukan kayu seperti bambu,madu alam, rotan dan aren. Kehidupan masyarakat Dusun Matompi tidak lepas dari pemanfaatan sumberdaya hutan. Mereka memanfaatkan sumberdaya hutan seperti kayu atau hasil hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Dusun Matompi mengambil ranting kayu atau kayu yang sudah mati dari hutan untuk kepentingan kayu bakar mereka sehari-hari, sedangkan batang kayu sebagai alat pertukanganuntuk pembangunan rumah. Selain itu masyarakat juga mengambil rotan dari hutan dan pemungutan madu serta nira aren serta pemanfaatan pohon sagu untuk pembuatan makanan.

Konflik Setelah Adanya Penetapan Kawasan Hutan
a.      Konflik horizontal
Konflik horizontal yang terjadi dalam masyarakat Desa Pekaloa terjadi antara individu yang masih bersaudara atau masih memiliki hubungan keluarga. Konflik ini berupa konflik sawah dan tanah dalam kawasan hutan yang diklaim sebagai hak masing-masing pihak berkonflik. Konflik yang terjadi di dalam masyarakat ini disebabkan oleh status tanah yang bersifat tanah “ongko”, tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, sehingga terjadi perbedaan prinsip salah satu pihak yang berkonflik.

b.      Konflik Vertikal
Konflik vertikal terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Di Desa Pekaloa, khususnya Tanah One, konflik tersebut bersumber pada penetapan kawasan hutan tersebut sebagai hutan produksi, dimana pada tahun 2005 masyarakat Tanah One merasa keberatan dengan hadirnya Andi Hasan sebagai pihak yang berhak atas Hak Guna Usaha atas lahan tersebut.




Studi Kasus Dan Penyelesaian Terhadap Konflik Lahan
Negosiasi antar pihak – pihak yang berkonflik perlu dilakukan karena tidak semua konflik lokal dapat terselesaikan secara lokal karena beberapa otoritas dan kewenangan berada ditataran pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan dan masalah lokal perlu diangkat ketataran kabupaten atau provinsi dengan harapan tataran tersebut dapat mendukung tercapainya penyelesaian melalui perbaikan dan reformasi kebijakan, karena masalah penetapan kawasan secara administrasi sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan tata penetapan dan pengelolaan kawasan hutan pada saat itu. Disamping pemerintah, penggunaan mediator dalam penyelesaian konflik sangat diperlukan agar masyarakat nantinya tidak merasa terintimidasi dan curiga terhadap proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Dusun Matompi Tanah One.
Berdasarkan kondisi sosial dan keadaan sumber daya alam tersebut maka pembentukan program KPH merupakan alternatif solusi yang perlu mendapat perhatian dalam penyelesaian konflik pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan pengelolaan KPH di Kabupaten Luwu Timur dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi hutan,kondisi DAS, kondisi ekonomi, sosial budaya, kelembagaan masyarakat serta disesuaikan dengan kebijakan Pembangunan Daerah dan kebijakan Nasional yang terkait dengan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh KPH, meliputi kewajiban pelaksanaan pemberdayaan, Seperti, pendampingan penyusunan rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas atau kelembagaan. Pada areal hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan hasil tata guna hutan dan lahan, disusun rencana pengelolaan hutan dan lahan pada setiap desa dengan mempertimbangkan aspirasi, partisipasi, dan nilai budaya masyarakat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Pada peta tata guna hutan dan lahan desa juga tergambarkan lokasi-lokasi yang dapat dikembangkan dengan pola agroforestry untuk pengembangan hutan rakyat pada lahan milik dan pola-pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan atau pola Hutan tanaman rakyat (HTR) pada kawasan hutan yang telah dirambah.




Pola - pola Pengelolaan Kawasan Hutan

1.      Pola Hutan Kemasyarakatan
Konsep dasar yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan (Departemen Kehutanan, 1996). Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies). Ruang lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan, meliputi :
-          Penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan
-          Perizinan dalam hutan kemasyarakatan
-          Hak dan kewajiban
-          Pembinaan, pengendalian dan pembiayaan
-          Sanksi
Kawasan hutan lindung yang telah dirambah masyarakat pada Desa Pekaloa dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: a. Belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan b. Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara nyata bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Sebagai contoh, pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut (Departemen Kehutanan, 1999) dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral, silvofishery), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri.



2.      Pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Melihat kondisi, tata letak serta status kawasan hutan pada kawasan Tanah One yang berstatus kawasan hutan produksi, maka penanganan konflik penggunaan lahannya berbeda dengan kawasan hutan matompi yang berstatus hutan lindung. Dimana hak-hak untuk penggunaan hasil hutan kayu masih ditoleransi, sehingga penggunaan pola hutan tanaman rakyat merupakan pola yang tepat untuk penyelesaian status penggunaan lahan tersebut. Sebagaimana dalam PP No. 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bahwa Hutan Tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur tertentu dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Hutan Tanaman Rakyat sangat penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Pemberian akses yang lebih luas pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan hutan tanaman mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat kekeliruan dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian kayu, kebakaran dan dampak negatif euphoria otonomi daerah. Pembangunan HTR pada hutan produksi dimaksudkan agar konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah dapat terselesaikan, dimana masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan produksi secara optimal (memanfaatkan hasil kayu dan non kayu) tanpa mengubah status dan fungsi kawasan.






KESIMPULAN

1.                          Pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat dalam kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi berbentuk kebun, sawah, tegalan dan wanatani pekarangan.
2.                          Klaim masyarakat atas pemanfaatan kawasan hutan adalah klaim lahan kelola sebagai tanah hak milik sebagai tanah warisan nenek moyang. Klaim masyarakat menimbulkan konflik secara horisontal dan secara vertikal. Konflik horizontal yang melibatkan individu dalam masyarakat, terjadi karena adanya klaim berdasarkan hak atas warisan dan hak atas pengelolaan, sedang konflik vertikal terjadi antara masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan degan pemerintah yang melarang adanya pemanfaatan kawasan hutan tanpa seisin dari instansi dinas kehutanan.
3.                          Resolusi konflik yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik klaim lahan sesuai status, fungsi dan kebijakan pengelolaan hutan adalah pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan pola hutan tanaman rakyat (HTR).

4.                          Tujuan bagi  masyarakat dengan pola HKM dan HTR sebaiknya dilakukan dengan menciptakan aneka usaha yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti peningkatan keterampilan dalam usaha budidaya kehutanan, perkebunan dan pertanian dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan.

AGROFORESTRY SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK PEMANFAATAN LAHAH

AGROFORESTRY SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK PEMANFAATAN LAHAH
                Saat ini pengembangan sistem agroforestry tidak lagi hanya berfokus kepada masalah produksi dan produktivitas namun telah berkembang kepada hal - hal yang berkaitan dengan perhatian massyarakat secara global,sepeti kaitan dengan global warming, konflik memperebutkan lahan hutan dll.
            Pengembangan agroforestry mempunyai peluang yang cukup besar karena adanya beberapa alasan, antara lain adalah:
Ø  Adanya perubahan paradigma baru tentang pengeloloan hutan yang lebih mempertimbangkan pengelolaan sumberdaya alam dan usaha meningkatkan kesahjeteraan massyarakat yang hidup disekitar hutan dapan memberikan peluang besar untuk pengembangan agroforesty.
Ø  Meningkatnya kesadaran tentang pengetahuan lokal petani, membuka kesempatan yang luas untuk mempelajari praktek agroforestri yang telah berkembang sejak dahulu kala, yang kemungkinan dapat ditularkan ke tempat lain.
Ø  Besarnya luasan lahan terdegradasi (misalnya padang alang-alangdan hutan terdegradasi) memberikn kesempata untuk mengikutsertakan agroforestri dalam perogram rehabilitasilahan dan pengelolaan sumber daya alam.
            Perubahan pola perladangan
Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir, perladangan gilir balik – merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan ‘fase tanam atau fase produksi’ dan ‘masa bera’, yaitu masa dimana vegetasi dibiarkan bersuksesi secara alami. Ladang atau huma didefinisikan sebagai lahan berhutan yang dibersihkan untuk produksi tanaman pangan. Adakalanya tanaman ini dikombinasikan dengan tanaman semusim lainnya dan atau tanaman keras baik dalam satu kurun waktu atau dalam beberapa periode. Tujuannya adalah untuk konsumsi pribadi maupun dijual. Pada masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tanaman perintis berkayu dibiarkan tumbuh secara alami hingga berupa hutan. Proses penumpukkan serasah daun terjadi secara terus menerus. Tumbuhan lapisan bawah semakin jarang tumbuh. Selain itu, pada masa bera terjadi penumpukan unsur hara pada biomasa tanaman berkayu. Unsur hara ini dilepaskan kembali bilamana pembersihan lahan atau ‘tebas dan bakar’ dilakukan.Hampir semua sistem pertanian di Asia saat ini berasal dari sistem perladangan. Namun demikian, perubahan yang terjadi telah menyebabkan pola dasar dari sistem perladangan menjadi sulit dikenali. Proses perubahan ini berjalan dua arah dan tergantung pada kondisi eksternal, seperti fluktuasi harga serta pengaruh kebijakan (Colfer, komunikasi pribadi). Karena itu, keberlanjutan proses perubahan dari pola perladangan perlu lebih diperhatikan daripada hanya berkutat dalam perdebatan mengenai bentuk dasar sistem perladangan. Paham mengenai proses evolusi, baik alam maupun sosial ekonomi, seharusnya dipandang sebagai suatu proses perubahan secara bertahap dalam merespon tekanan seleksi. Dengan demikian, orang tidak hanya terjebak dalam pandangan bahwa perubahan selalu mengarah pada bentuk kehidupan yang ‘lebih tinggi’ tingkatannya.
Perladangan berkembang menjadi tiga model,yaitu:
1. ‘Agroforest’, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2. Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera  didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3. Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian.  Misalnya penggunaan tanaman penutup tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan
pupuk kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Sejumlah penelitian mengenai ‘perladangan’ difokuskan hanya pada fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah, sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan tanah. Penurunan dan peningkatan kesuburan tanah berlangsung seiring dengan produktivitas tanaman. Penurunan dan peningkatan produksi tanaman terjadi karena adanya interaksi fisik, kimia dan biologi tanah; dimana gulma, hama dan penyakit tidak mudah diuraikan oleh konfigurasi tanah setempat (Trenbath, 1989). Perbedaan jenis tanah, ruang tumbuh vegetasi dan kondisi iklim membuat hubungan saling mempengaruhi antar faktor menjadi lebih kompleks. Namun demikian, model penurunan dan pemulihan kesuburan tanah secara sederhana sebagaimana dikemukakan Trenbath (1989) sangat bermanfaat sebagai langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.
Konflik Setelah Adanya Penetapan Kawasan Hutan
v  Konflik horizontal
Konflik horizontal yang terjadi dalam masyarakat Desa Pekaloa terjadi antara individu yang masih bersaudara atau masih memiliki hubungan keluarga. Konflik ini berupa konflik sawah dan tanah dalam kawasan hutan yang diklaim sebagai hak masing-masing pihak berkonflik. Konflik yang terjadi di dalam masyarakat ini disebabkan oleh status tanah yang bersifat tanah “ongko”, tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, sehingga terjadi perbedaan prinsip salah satu pihak yang berkonflik.
v  Konflik Vertikal
Konflik vertikal terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Di Desa Pekaloa, khususnya Tanah One, konflik tersebut bersumber pada penetapan kawasan hutan tersebut sebagai hutan produksi, dimana pada tahun 2005 masyarakat Tanah One merasa keberatan dengan hadirnya Andi Hasan sebagai pihak yang berhak atas Hak Guna Usaha atas lahan tersebut.
Studi Kasus Dan Penyelesaian Terhadap Konflik Lahan
Negosiasi antar pihak – pihak yang berkonflik perlu dilakukan karena tidak semua konflik lokal dapat terselesaikan secara lokal karena beberapa otoritas dan kewenangan berada ditataran pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan dan masalah lokal perlu diangkat ketataran kabupaten atau provinsi dengan harapan tataran tersebut dapat mendukung tercapainya penyelesaian melalui perbaikan dan reformasi kebijakan, karena masalah penetapan kawasan secara administrasi sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan tata penetapan dan pengelolaan kawasan hutan pada saat itu. Disamping pemerintah, penggunaan mediator dalam penyelesaian konflik sangat diperlukan agar masyarakat nantinya tidak merasa terintimidasi dan curiga terhadap proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Dusun Matompi Tanah One.
Berdasarkan kondisi sosial dan keadaan sumber daya alam tersebut maka pembentukan program KPH merupakan alternatif solusi yang perlu mendapat perhatian dalam penyelesaian konflik pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan pengelolaan KPH di Kabupaten Luwu Timur dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi hutan,kondisi DAS, kondisi ekonomi, sosial budaya, kelembagaan masyarakat serta disesuaikan dengan kebijakan Pembangunan Daerah dan kebijakan Nasional yang terkait dengan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh KPH, meliputi kewajiban pelaksanaan pemberdayaan, Seperti, pendampingan penyusunan rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas atau kelembagaan. Pada areal hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan hasil tata guna hutan dan lahan, disusun rencana pengelolaan hutan dan lahan pada setiap desa dengan mempertimbangkan aspirasi, partisipasi, dan nilai budaya masyarakat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Pada peta tata guna hutan dan lahan desa juga tergambarkan lokasi-lokasi yang dapat dikembangkan dengan pola agroforestry untuk pengembangan hutan rakyat pada lahan milik dan pola-pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan atau pola Hutan tanaman rakyat (HTR) pada kawasan hutan yang telah dirambah.
Pola - pola Pengelolaan Kawasan Hutan
Ø  Pola Hutan Kemasyarakatan
Konsep dasar yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan (Departemen Kehutanan, 1996). Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies). Ruang lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan, meliputi :
-          Penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan
-          Perizinan dalam hutan kemasyarakatan
-          Hak dan kewajiban
-          Pembinaan, pengendalian dan pembiayaan
-          Sanksi
Kawasan hutan lindung yang telah dirambah masyarakat pada Desa Pekaloa dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: a. Belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan b. Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara nyata bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Sebagai contoh, pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut (Departemen Kehutanan, 1999) dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral, silvofishery), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri.
Ø  Pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Melihat kondisi, tata letak serta status kawasan hutan pada kawasan Tanah One yang berstatus kawasan hutan produksi, maka penanganan konflik penggunaan lahannya berbeda dengan kawasan hutan matompi yang berstatus hutan lindung. Dimana hak-hak untuk penggunaan hasil hutan kayu masih ditoleransi, sehingga penggunaan pola hutan tanaman rakyat merupakan pola yang tepat untuk penyelesaian status penggunaan lahan tersebut. Sebagaimana dalam PP No. 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bahwa Hutan Tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur tertentu dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Hutan Tanaman Rakyat sangat penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Pemberian akses yang lebih luas pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan hutan tanaman mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat kekeliruan dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian kayu, kebakaran dan dampak negatif euphoria otonomi daerah. Pembangunan HTR pada hutan produksi dimaksudkan agar konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah dapat terselesaikan, dimana masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan produksi secara optimal (memanfaatkan hasil kayu dan non kayu) tanpa mengubah status dan fungsi kawasan.














KESIMPULAN

Dengan adanya agroforestry konflik bisa dikendalikan karena agroforestry merupakan suatu pola penggunaan lahan yang bertujuan mempertahankan atau meningatkan hasil dengan efektif. Caranya dengan menanam suatu lahan dengan menggabungkan antara tumbuhan berkayu (tanaman hutan) dengan tanaman pangan atau pakan ternak dengan menggunakan praktik-praktik pengolahan yang sesuai dengan kondisi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya setempat. Pola penanaman agroforestry umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman.
Berikut adalah jenis-jenis agroforestry :
A. Silviagrikultur
Merupakan campuran antara tanaman pangan (pisang, jagung, dan kopi) dengan tanaman hutan di suatu lahan yang sama. Kombinasi ini dilakukan dengan teknik pengaturan ruang, diantaranya penanaman pohon tepi, penanaman dalam larikan berselang-seling, penanaman dalam jalur (strips) yang berselang-seling, dan penanaman campuran secara acak.
B. Silvopastura
Silvopastura merupakan kombinasi penanaman tanaman hutan dengan tanaman pakan ternak di lahan yang sama. Pola silvopastura tidak sama dengan padang rumput yang digunakan untuk pemeliharaan ternak secara tradisional. Bentuk campuran tanaman pada silvopastura sama seperti silviagrikultur. Contoh aplikasi silvopastura yakni penanaman jati putih (Gmelina arborea) dikombinasikan dengan tanaman turi (Sesbania glandifora) sebagai pakan hijauan bagi ternak di dalam suatu lahan.
C. Silvofiseri
Silvofiseri merupakan kombinasi penanaman tanaman hutan dengan usaha perikanan di lahan yang sama. Umumnya dilaksanakan di daerah hutan payau atau daerah yang terpotong oleh sungai. Berbagai tanaman yang ditanam dapat membantu pengendalian erosi dan sendimentasi tanah. Petani atau pembudidaya yang melakukan pola ini masih relatif sedikit. Salah satu contoh aplikasi silvofiseri adalah adanya tambak air payau ikan nila di area tanaman sengon.

D. Silviagrifiseri
Silviagrifiseri merupakan penggabungan antara usaha kehutanan, pertanian, dan perikanan di lahan yang sama. Perpaduan usaha tersebut menghasilkan pangan, hasil hutan, dan ikan. Contoh pola silviagrifiseri adalah kombinasi antara tanaman mahoni yang diselingi dengan tanaman umbi garut dan terdapat kolam buatan untuk ikan mas.
E. Silviagripastura

Adalah kombinasi antara usaha sektor kahutanan, pertanian, dan peternakan dilahan yang sama. Hasil yang diperoleh dari pola ini berupa pangan, pakan ternak, dan hasil hutan. Salah satu aplikasi silviagripastura yakni penanaman kayu afrika, iles-iles (sejenis umbi-umbian), dan lamtoro gung (Leucaena leucocephala). Keuntungan pola ini adalah dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah dan dapat mengurangi resiko kegagala panen secara total.

Model Agroforestry Dilahan Rawa Gambut

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris yang selalu menghadapi masalah pangan terutama beras sebagai suatu dilema yang tidak berkesudahan. Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Indonesia (2012), bahwa produksi padi gabah kering giling (GKG) pada Tahun 2011 yakni sebesar 65,38 juta ton, atau bila dikonversi menjadi beras dengan rendemen 61 persen telah dihasilkan beras sebanyak 39,88 juta ton. Produksi tersebut dihasilkan dari areal tanaman padi seluas 13.224.379 hektar dengan  produktivitas rata-rata sebesar 4,944 ton per hektar.
Terlepas dari kontroversi dari data Statistik Indonesia 2012 tentang telah terjadi surplus beras, dan realita masih adanya impor beras dari luar negeri, ini menunjukkan bahwa posisi ketahanan pangan beras di Indonesia masih terkategori rawan. Secara nyata, memperhatikan data konsumsi beras pada Tahun 2011, dengan diiringi peningkatan konsumsi beras pada Tahun 2020, maka untuk memenuhi konsumsi di luar cadangan persediaan beras nasional, diperlukan tambahan persediaan untuk konsumsi nasional sebesar 3 juta ton.
Secara teori peningkatan luas penanaman padi dapat dilakukan pada lahan yang terlantar, lahan kritis dan lahan sub optimal. Data dari Badan Pertanahan Nasional (2011) melaporkan bahwa di Indonesia hingga April 2011 masih terdapat lahan terlantar milik negara yang tidak tergarap dan  tidak bersertifikat seluas 7,3 juta hektar.
Pemanfaatan lahan sub optimal tidak hanya dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan terdegradasi yang terlantar tetapi harus dikelola dengan bijaksana agar tidak melepas emisi gas rumah kaca. Lahan gambut yang kaya dengan cadangan karbon bila dikonversi bila tidak memperhatikan pengaturan drainase dan konservasi dengan aneka tanaman pepohonan akan menyebabkan terjadi subsidensi, dapat penyebab sumber kebakaran bila musim kering yang berkepanjangan.

Pemanfaatan lahan gambut dengan dilakukan konservasi bertujuan agar lahannya terus menerus terdapat penutupan lahan, serta mampu menghasilkan tambahan cadangan karbon dan mempertahankan stok karbon yang ada. Karbon diperhitungkan dari seluruh biomasa bagian tanaman, yang meliputi biomasa yang di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomasa yang berada di bawah tanaman dan di dalam tanah (below ground biomass). Biomasa atas meliputi bagian batang termasuk cabang dan dahan bila tanaman tersebut adalah pohon bercabang, daun, buah dan bunga. Biomasa bagian bawah adalah termasuk akar dan serasah serta tumbuhan lainnya, baik tumbuhan yang masih hidup maupun tumbuhan yang telah mati, yang ada di bawah pohon atau tanaman tersebut yang terhampar di atas tanah (Asmani et.al., 2011).
Skema penurunan emisi dari degradasi dan penciutan hutan atau REDD+ (Reducing Emission from Degradation and Deforestation), yang sedang dilakukan negosiasi agar dapat diratifikasi secara resmi, penyerapan karbon dapat merupakan potensi untuk mendapatkan insentif pada perdagangan karbon.
BAHAN DAN METODE
            Metode yang dilakukan dalam penyajian ini dengan melakukan analisis data sekunder dari berbagai penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Data serapan dan pelepasan karbon diambil dari hasil penelitian; Asmani  et. al. (2011), Jauhanien et. al. (2004), dan hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2011).
            Penghitungan pengayaan karbon pada lahan gambut dengan aktifitas persawahan padi pasang surut tanpa tanaman silvikultur berdasarkan asumsi dari jumlah kandungan karbon yang dapat dicegah pelepasan emisinya dari kebakaran karena adanya kegiatan budidaya (silvikultur akasia) yang dikurangi dengan besarnya karbon yang dilepas pada kegiatan budidaya tanaman padi pada  lahan pasang surut yang terdegradasi. Sistem MPTS dengan menggunakan kombinasi secara proporsional dengan luas lahan tanaman pangan seluas 80 persen atau 0,8 hektar dan silvikultur seluas 20 persen atau 0,2 hektar).


HASIL
Pembukaan Lahan Padi yang Rendah Emisi
Sasaran utama pembangunan pertanian sektor pangan selain dari kemandirian pangan dan pengentasan kemiskinan yakni adalah untuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Dampak dari perubahan iklim pada sektor pertanian pangan mengalami ketidakpastian pola tanam dan ancaman kekeringan dan banjir, yang tentunya beresiko terhadap penurunan produksi. Upaya peningkatan produksi padi yang dapat mencegah pelepasan emisi dapat dilakukan dengan upaya optimalisasi penggunaan lahan yang tidak produktif atau kritis, revitalisasi lahan gambut yang terlantar, pengembangan teknologi pengelolaan lahan tanpa bakar, dan peningkatan produktivitas melalui indeks pertanaman (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).
            Insentif Karbon
Memasuki era perdagangan karbon dalam skema REDD+, kegiatan penyerapan karbon tanaman dalam proses negosisasi untuk diberikan suatu insentif karbon atau kredit karbon. Insentif karbon diperoleh dari melakukan kegiatan mempertahankan kepermanenan tegakan pohon, yang insentifnya diperhitungkan dari kandungan karbon biomasanya. Kepermanenan populasi tanpa melakukan penebangan pohon pada batas waktu tertentu atau dapat mempertahankan populasi jumlah  tertentu.
PEMBAHASAN
Lahan rawa gambut yang terdegradasi dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya padi melepas emisi. Pelepasan emisi tersebut dikarenakan pada kegiatan persawahan padi pasang surut dibangun sistem drainase yang menyebabkan terjadinya subsidensi gambut. Lahan terlantar yang berpenutupan semak belukar dibiarkan terbuka terus menerus pada musim kemarau panjang dapat menimbulkan kebakaran biomasa dangambut. Hal yang positif dengan pemanfaatan lahan terdegradasi dapat mencegah kebakaran hutan karena adanya tanaman budidaya yang dipelihara oleh pengusahanya.



KESIMPULAN

Potensi pengayaan karbondioksida dengan sistem MPTS kombinasi agribisnis padi dengan silvikultur diperoleh sebesar 25,60 ton per hektar per tahun. Perluasan produksi padi untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia sampai Tahun 2020, dengan  sistem MPTS seluas 2,82 juta hektar diprediksi memperkaya stok karbondioksida sebesar 72,192 juta ton per tahun. Besarnya potensi insentif karbon dengan sistem MPTS kombinasi agribisnis padi dengan sistem silvikultur akasia akan diperoleh sebesar 2,100  juta rupiah per hektar per tahun. Dari target perluasan tanaman padi di Indonesia seluas 2,82 juta yang menerapkan sistem MPTS kombinasi agribisnis padi dengan sistem silvikuktur akasia diprediksi perolehan insentif karbon sebesar 5,922 trilyun rupiah per tahun.

PRODUKTIVITAS USAHATANI DALAM SISTEM PERTANIAN TERPADU: STUDI KASUS DI KECAMATAN AMARASI, KABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Amarasi merupakan salah satu dari 22 kecamatan di Kabupaten Kupang Nusa TenggaraTimur (NTT) yang terdiri dari 7 buah desa dan tiga di antaranya yakni desa Oesena, Ponain dan Tesbatan merupakan lokasi studi kasus. Luas wilayah Kecamatan Amarasi saat ini adalah 154,9 km2 dengan kepadatan penduduk 91 orang per km2. Kondisi iklim di daerah ini, seperti yang dipublikasikan oleh beberapa penulis, adalah kering yang dipengaruhi oleh angin muson tenggara yang bertiup dari Australia dimana musim kemaraunya cukup panjang (8–9 bulan) (Nulik et al. 1999; Kapa 1999; Piggin 2003) dengan curah hujan tahunan pada tahun 2004 berkisar antara 12,7 mm (bulan Mei) sampai 463,8 mm (bulan Februari).
Suhu dan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Desember masing-masing 33,5°C dan 92 persen. Evaporasi rate berkisar antara 4 sampai 9 mm per hari dan dalam setahun dapat mencapai total 2000 mm (BPS Kabupaten Kupang 2004). Keadaan di atas ditambah kondisi topografi daerah yang bergelombang sampai berbukit serta tanah yang bersifat calcacerous dengan pH berkisar antara 8–9 menyebabkan sulit bagi tanaman untuk bertumbuh dengan baik. Oleh karena itu yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan pertanian di daerah Amarasi adalah aspek konservasi tanah maupun air. Hal ini perlu dalam rangka mengantisipasi musim hujan yang singkat berakibat pada kurangnya ketersediaan air.
Pada kondisi seperti ini petani peternak mengalami kesulitan dalam usahatani maupun usaha ternak. Hal ini berdampak lanjut pada rendahnya produktivitas pertanian dan peternakan di daerah ini. Dengan demikian diperlukan pengenalan terhadap sistem usahatani yang telah ada di Amarasi untuk diperbaiki dalam kerangka Integrated Rural Develpoment.

Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu membahas kajian dari beberapa hasil studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang terkait produktivitas usahatani dan ternak dalam sistem usahatani terpadu di Amarasi.



PEMBAHASAN

Potensi Sumberdaya
Kecamatan Amarasi sebagaimana dijelaskan di depan memiliki wilayah sekitar 2,6 persen dari luas Kabupaten Kupang. Jumlah penduduk Kecamatan Amarasi pada Tahun 2004 adalah 14.113 orang yang terdiri dari 7.273 laki-laki dan 6.840 perempuan tergabung dalam 3.371 rumah tangga serta tidak kurang dari 75 persen penduduknya bekerja di sektor pertanian dengan pendapatan perkapita yang relatif rendah yakni Rp974.000 (BPS Kabupaten Kupang 2004). Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa lahan kering menjadi tumpuan kegiatan pertanian di Kecamatan Amarasi. Sedangkan di sektor peternakan didominasi oleh ternak sapi dan unggas. Luas lahan sawah 300 ha merupakan sawah tadah hujan berpengairan
sederhana.

Pola Usahatani di Amarasi
Pengelolaan usahatani di Amarasi menurut hasil penelitian selama tahun 1994–2004 di tiga desa (Oesena, Ponain, dan Tesbatan) dilaksanakan pada empat jenis lahan yakni:
·         Usahatani lahan kering (usahatani ladang)
Sistem ladang di Amarasi dicirikan oleh sistem tebas-bakar (slash-and-burn systems). Komoditas yang ditanam pada usahatani ladang adalah jagung sebagai tanaman utama, kacang gude (Cajanus cajan), labu dan ubi kayu. Jagung, kacang dan labu ditanam pada satu lubang pada bulan Desember dan dipanen pada bulan April atau Mei. Sedangkan ubi kayu ditanam diantara tanaman utama pada waktu yang sama dan dipanen pada bulan Agustus sampai Oktober. Rata-rata produksi jagung pada tahun 2004 adalah 1,21 ton ha–1, kacang 0,34 ton ha–1, ubi kayu 2,560 umbi per ha, serta 35 karung plastik kacang tanah per ha. Gambar 1 memperlihatkan pola tanam petani di lahan kering dan sawah di Amarasi.
·         Usahatani pekarangan
Sebagaimana halnya di ladang tanaman jagung juga menjadi tanaman utama di lahan pekarangan yang ditumpangsarikan dengan kacang dan ubi kayu (Kapa 2004). Beberapa tanaman tahunan dalam jumlah kecil seperti kelapa, nangka dan tanaman makanan ternak misalnya lamtoro, gamal dan galagala juga ditanam di pekarangan. Jagung yang ditanam biasanya varietas umur pendek dengan maksud untuk menyediakan sumber makanan bagi keluarga. Produksi jagung dari lahan pekarangan sangat sulit untuk diketahui namun menurut estimasi para petani sekitar 760 kg/ha.
·         Usahatani Sawah
Hasil penelitian Kapa (2004) menyatakan tidak semua petani di Amarasi memiliki lahan sawah, dari 50 responden yang diwawancarai hanya 20 % petani yang mengusahakan sawah. Rata-rata luas lahan sawah per kepala keluarga (per farm) hanya 0,32 ha.Pada lahan ini diusahakan tanaman padi (monocrop) dengan pola umum padi–bera, namun di desa Tesbatan dengan memanfaatkan musim hujan dan ketersediaan mata air polanya adalah padi–sayur–bera. Waktu tanam umumnya dimulai pada akhir bulan Desember sampai Januari dan dipanen sekitar bulan Maret/April. Pada pola pertama setelah padi dipanen maka lahan dibera
sampai musim tanam berikutnya. Sedang pada pola tanam kedua, setelah padi dipanen lahan dibiarkan beberapa saat (1–2 minggu) kemudian diolah untuk menanam sayur. Rata-rata produksi padi 1,7 ton ha–1. Sedangkan dari usahatani sayur karena sulit untuk mendapatkan produksi fisik sehingga dinilai dengan rupiah. Hasil studi menunjukkan rata-rata pendapatan
petenai sebesar Rp 2.250.000 per tahun.
·         Usahatani mamar
Mamar (tradisional agroforestry) adalah lahan yang biasanya terletak dekat mata air atau sungai. Tetapi mamar kering tidak harus dekat dengan mata air. Rata-rata luas lahan mamar 0,47 ha. Mamar identik dengan tanaman kelapa, pinang, sirih, pisang, nagka dan beberapa tanaman hijauan makanan ternak seperti lamoro, gala-gala dsbnya. Pemilikan mamar biasanya diturunkan dari generasi ke generasi dan luasnya makin lama makin sempit. Pada tahun 1994, rata-rata luas lahan mamar di Amarasi 0.6 ha dan pada tahun 2004 menjadi 0,47 ha. Hal ini terjadi karena ada fragmentasi lahan dan pertambahan jumlah penduduk. Selain kelapa, hasil dari tanaman lainnya sulit diukur dalam bentuk fisik tetapi petani menyatakan bahwa mamar mempunyai peranan penting dalam menyediakan uang tunai untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Pada tahun 2004 penghasil rata-rata dari mamar yang diperoleh dari penjualan kelapa dan produk lainnya adalah sebesar Rp. 672.000.

Usaha Ternak di Amaras
Usaha ternak merupakan bagian integral dari sistem usahatani di Amarasi. Ternak yang banyak dipelihara adalah sapi, dan unggas sedangkan ternak lainnya dipelihara dalam jumlah kecil. Sebagian besar dari usahaternak sapi dipelihara dengan cara ekstensif tradisional dimana intervensi pemilik terhadap usaha ternak sangat minim. Pada sistem pemeliharan ini biasanya pada siang hari sapi dibiarkan merumput di padang penggembalaan umum, atau di kebun milik peternak dan pada malam hari dikandangkan. Namun dengan meningkatnya derajat komersialisasi ternak sapi mendorong peternak untuk melakukan sistem pemeliharaan yang lebih produktif. Sistem ini dikenal dengan sistem paron atau sistem Amarasi yang berbasis lamtoro.
Sejak diperkenalkan pada tahun 1971, sistem paron menarik minat peternak untuk memeliharanya sapi paron dan bersandar sepenuhnya pada lamtoro sebagai sumber utama pakan. Dengan pemberian lamtoro sebanyak 15–20 kg daun segar perhari dapat menaikan berat badan 0,5–1 kg per hari. Dengan demikian untuk mencapai berat pasar sekitar 350 kg dari berat badan awal 150 kg membutuhkan waktu hanya 3–6 bulan dan dapat memberikan kontribusi 30–70 % terhadap pendapatan petani. Adanya serangan kutu loncat pada lamtoro di awal tahun 1986 telah menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak langsung pada penurunan produktivitas usahatani dan ternak di Amarasi seperti yang dilaporkan Mudita dan Kapa (1987) dan Widiyatmika et al. (1989). Misalnya produksi tanaman jagung turun sebesar 53 persen, sedang bagi sapi paron kekurangan lamtoro menyebabkan masa pemeliharaan menjadi lebih lama dan jumlah sapi paron juga berkurang dari rata-rata 7 ekor sebelum tahun 1987 menjadi rata-rata 3 ekor per tahun. Tidak jarang petani harus berjalan sejauh 1–3 km perhari guna mendapatkan HMT. Guna mengatasi hal ini peternak juga mencari sumber HMT alternatif seperti galagala, kapok, limbah pertanian disamping lamtoro.

Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja dalam pelaksanaan usahatani masih didominasi oleh tenaga kerja manusia yang bersumber dari dalam keluarga dan dari luar keluarga berupa tenaga gotong royong sedang sistem upahan jarang dilakukan. Kapa (2001) melaporkan kurang lebih 11.000 jam per keluarga yang digunakan setiap tahun untuk melakukan aktivitas usahatani. Dari jumlah tersebut 48 persen digunakan untuk tanaman pangan, 37,5 persen untuk usaha ternak dan sisanya untuk kegiatan off farm. Intensitas penggunan tenaga kerja berhubung erat dengan musim. Penggunaan tenaga kerja yang paling intensif terjadi menjelang dan pada musim hujan (Oktober dan April). Pada bulan lain intensitasnya berkurang, bahkan pada bulan-bulan tertentu intensitasnya sangat rendah. Untuk itu perlu dipikirkan pembukaan lapangan kerja guna memanfaatkan tenaga kerja yang ada.

Kendala Usahatani
Produktivitas hasil beberapa komoditas tanaman pangan yang dicapai oleh petani dari tiga desa kasus di Amarasi (Oesena, Ponain, dan Tesbatan) umumnya masih rendah bila dibandingkan dengan hasil produksi potensial yang bisa dicapai. Hal ini terjadi karena kendala teknis maupun kendala sosial ekonomi. Keterbatasan air, penyediaan varietas, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit masih merupakan kendala utama di desa-desa kasus. Dari segi penyediaan tenaga kerja, tenaga kerja utama adalah tenaga kerja manusia namun dari segi pemanfaatannya masih kurang produktif. Tenaga kerja ternak walaupun tersedia namun pemanfaatannya masih sangat terbatas, lahan usahatani yang dimiliki sempit dan kurang subur juga merupakan kendala utama. Kendala sosial ekonomi ditandai dengan motivasi yang sedang disertai kurangnya keterampilan. Walaupun tersedia sarana penunjang kelembagaan namun peranannya kurang aktif dan tidak lancar, terbatasnya kredit modal kerja, serta tidak tersedianya teknologi di tingkat desa menjadi kendala pengembangan usahatani.

Kendala Usaha Ternak
Musim hujan yang singkat disertai dengan belum pulihnya tanaman primadona lamtoro menyebabkan minimnya suplai pakan baik jumlah maupun mutu bagi ternak NTT. Hal ini berdampak pada rendahnya produktivitas ternak sapi seperti yang dijelaskan di atas. Tumbuhan yang relatif lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan jenis-jenis sumber hijauan lain seperti lamtoro kini tidak lagi menjadi pemasok utama hijauan bagi ternak yang bergizi tinggi dan palatable dan juga sebagai tumbuhan penyubur tanah sekaligus pencegah erosi tidak dapat lagi diandalkan sepenuhnya karena adanya invasi kutu loncat. Kejadian ini telah mengganggu produktivitas pertanian di daerah ini.
Masalah menurunnya produktivitas ternak dipengaruhi oleh beragam faktor yakni (1) faktor lingkungan seperti kurangnya ketersediaan pakan yang berkualitas serta keberagaman HMT alternatif yang rendah, penyakit, (2) faktor biologi misalnya tingkat kematian anak (calf mortality) cukup tinggi bahkan pada kondisi tertentu bisa mencapai 30 persen, (3) faktor managemen berhubungan dengan sistem pemeliharaan. Dimana sebagian besar peternak masih menggunakan sistem ekstensif seh-136 hingga kontrol terhadap breeding, feeding dan penyakit sangat rendah, dan (4) Sosial ekonomi berhubungan dengan kurangnya modal, kurangnyaakses terhadap fasilitas kredit dan pasar, serta diperburuk oleh krisis ekonomi yang terjadi saat ini.
PENUTUP

Kesimpulan dan Saran
Persoalan pokok yang dihadapi saat ini rendahnya produtivitas tanaman dan ternak di daerah Amarasi  yang disebabkan oleh adanya beberapa kendali baik itu teknis, biologi, manajemen maupun sosioal ekonomi. Namun demikian ada potensi yang dapat dikembang untuk meningkatkan produktivitas usahatani di Amarasi. Setelah melihat potensi dan kendala-kendala usahatani/ ternak di atas maka ke depan perlu dipikirkan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya kolaborasi baru antara pihak Indonesia (baca: NTT) dengan badan atau lembaga-lembaga dana Australia atau Internasional lainnya dalam konteks pembangunan pedesaan terpadu serta mempererat kolaborasi yang sudah ada baik dalambentuk bantuan dana, ekpertis, maupun penelitian dengan penekanan pada upaya mendukung pembangunan pertanian dalam rangka menciptakan usaha pertanian yang efisien, berorientasi pasar, agribisnis dan agroindustri di daerah pedesaan.
2. Bidang lain yang perlu mendapat perhatian untuk diteliti adalah adanya kerjasama untuk mengkaji upaya konservasi tanah dan air termasuk teknologi penampungan air, bioteknologi, teknologi pasca panen dan penanganan hama penyakit tanaman secara terpadu.
3. Di bidang tanaman pangan adalah adanya peningkatan hasil usahatani melalui penyediaan benih yang berproduksi tinggi, umur pemdek, tahan kekeringan dan hama/penyakit.
4. Di bidang peternakan perhatian diarahkan pada kerjasama dalam pengkajian feeding strategy untuk mengatasi masalah kekurangan pakan pada musim kemarau, pendirian breeding stock untuk ternak sapi dalam rangka perbaikan mutu genetik sapi bali termasuk di dalamnya penggunaan indigenous genetik stocks serta aspek kesehatan ternak.








Daftar Pustaka

BPS Kabupaten Kupang 2004. Kupang dalam Angka 2004. Kupang.

Kapa M.M.J. 1994. A comparison of cattle management systems in Kupang district, East Nusa Tenggara province, Indonesia. Master of Agricultural Science Thesis. The University of Melbourne, Australia.

— 2004. A whole farm analysis of livestock production systems in West Timor. Unpublished Report. Nusa Cendana University. Mudita I. W. and Kapa M.M.J. 1987. Dampak Serangan Kutu Loncat pada Lamtoro terhadap Sistem Pemeliharan Ternak Sapi Paron. Laporan Penelitian Sub-Kelompok Penelitian Dasar Program Litbang Pertanian Lahan
Kering, Kepas Undana.

Nulik J., Hosang E. dan Lidjang I.K. 1999. Profil dan KarakterZona Agroekologi pada Delapan Kabupaten- Perakitan Teknologi di Nusa Tenggara Timur. Makalah yang disampaikan pada Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi di BPTP Naibonat Kupang, 30 September–1 Oktober 1999.

Piggin C. 2003. The role of Leucaena in swidden cropping and livestock production in Nusa Tenggara Timur Province, Indonesia. In ‘Agriculture: new directions for a new nation—East Timor’, ed by H. Da Costa, C. Piggin, Cecar da Cruz and J.J. Fox. ACIAR Proceedings No. 13.


Widiyatmika M., Kaunang S. dan Kapa M.M.J. 1989. Dampak Serangan Kutu Loncat Lamtoro Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang. Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana. Unpublished Report. Kupang, Indonesia