AGROFORESTRY SEBAGAI
RESOLUSI KONFLIK PEMANFAATAN LAHAH
Saat
ini pengembangan sistem agroforestry tidak lagi hanya berfokus kepada masalah
produksi dan produktivitas namun telah berkembang kepada hal - hal yang
berkaitan dengan perhatian massyarakat secara global,sepeti kaitan dengan
global warming, konflik memperebutkan lahan hutan dll.
Pengembangan agroforestry mempunyai
peluang yang cukup besar karena adanya beberapa alasan, antara lain adalah:
Ø Adanya
perubahan paradigma baru tentang pengeloloan hutan yang lebih mempertimbangkan
pengelolaan sumberdaya alam dan usaha meningkatkan kesahjeteraan massyarakat
yang hidup disekitar hutan dapan memberikan peluang besar untuk pengembangan
agroforesty.
Ø Meningkatnya
kesadaran tentang pengetahuan lokal petani, membuka kesempatan yang luas untuk
mempelajari praktek agroforestri yang telah berkembang sejak dahulu kala, yang
kemungkinan dapat ditularkan ke tempat lain.
Ø Besarnya
luasan lahan terdegradasi (misalnya padang alang-alangdan hutan terdegradasi)
memberikn kesempata untuk mengikutsertakan agroforestri dalam perogram
rehabilitasilahan dan pengelolaan sumber daya alam.
Perubahan
pola perladangan
Pertanian
ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir,
perladangan gilir balik – merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan ‘fase tanam atau
fase produksi’ dan ‘masa bera’, yaitu masa dimana vegetasi dibiarkan bersuksesi
secara alami. Ladang atau huma didefinisikan sebagai lahan berhutan yang
dibersihkan untuk produksi tanaman pangan. Adakalanya tanaman ini dikombinasikan
dengan tanaman semusim lainnya dan atau tanaman keras baik dalam satu kurun
waktu atau dalam beberapa periode. Tujuannya adalah untuk konsumsi pribadi
maupun dijual. Pada masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tanaman
perintis berkayu dibiarkan tumbuh secara alami hingga berupa hutan. Proses penumpukkan
serasah daun terjadi secara terus menerus. Tumbuhan lapisan bawah semakin
jarang tumbuh. Selain itu, pada masa bera terjadi penumpukan unsur hara pada
biomasa tanaman berkayu. Unsur hara ini dilepaskan kembali bilamana pembersihan
lahan atau ‘tebas dan bakar’ dilakukan.Hampir semua sistem pertanian di Asia
saat ini berasal dari sistem perladangan. Namun demikian, perubahan yang
terjadi telah menyebabkan pola dasar dari sistem perladangan menjadi sulit dikenali.
Proses perubahan ini berjalan dua arah dan tergantung pada kondisi eksternal,
seperti fluktuasi harga serta pengaruh kebijakan (Colfer, komunikasi pribadi).
Karena itu, keberlanjutan proses perubahan dari pola perladangan perlu lebih
diperhatikan daripada hanya berkutat dalam perdebatan mengenai bentuk dasar sistem
perladangan. Paham mengenai proses evolusi, baik alam maupun sosial ekonomi,
seharusnya dipandang sebagai suatu proses perubahan secara bertahap dalam merespon
tekanan seleksi. Dengan demikian, orang tidak hanya terjebak dalam pandangan
bahwa perubahan selalu mengarah pada bentuk kehidupan yang ‘lebih tinggi’
tingkatannya.
Perladangan
berkembang menjadi tiga model,yaitu:
1.
‘Agroforest’, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih
tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2.
Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3.
Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya penggunaan tanaman penutup tanah
dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan
pupuk
kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia
yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan
kesuburan tanah.
Sejumlah
penelitian mengenai ‘perladangan’ difokuskan hanya pada fase tanam dan
kesuburan tanah. Fase tanam diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah,
sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan tanah. Penurunan dan
peningkatan kesuburan tanah berlangsung seiring dengan produktivitas tanaman.
Penurunan dan peningkatan produksi tanaman terjadi karena adanya interaksi
fisik, kimia dan biologi tanah; dimana gulma, hama dan penyakit tidak mudah
diuraikan oleh konfigurasi tanah setempat (Trenbath, 1989). Perbedaan jenis
tanah, ruang tumbuh vegetasi dan kondisi iklim membuat hubungan saling
mempengaruhi antar faktor menjadi lebih kompleks. Namun demikian, model
penurunan dan pemulihan kesuburan tanah secara sederhana sebagaimana
dikemukakan Trenbath (1989) sangat bermanfaat sebagai langkah awal untuk
memahami dinamika tersebut.
Konflik
Setelah Adanya Penetapan Kawasan Hutan
v Konflik horizontal
Konflik horizontal yang
terjadi dalam masyarakat Desa Pekaloa terjadi antara individu yang masih
bersaudara atau masih memiliki hubungan keluarga. Konflik ini berupa konflik
sawah dan tanah dalam kawasan hutan yang diklaim sebagai hak masing-masing
pihak berkonflik. Konflik yang terjadi di dalam masyarakat ini disebabkan oleh
status tanah yang bersifat tanah “ongko”, tanah yang tidak memiliki bukti
kepemilikan lahan, sehingga terjadi perbedaan prinsip salah satu pihak yang
berkonflik.
v Konflik Vertikal
Konflik vertikal terjadi
antara masyarakat dengan pemerintah. Di Desa Pekaloa, khususnya Tanah One,
konflik tersebut bersumber pada penetapan kawasan hutan tersebut sebagai hutan
produksi, dimana pada tahun 2005 masyarakat Tanah One merasa keberatan dengan
hadirnya Andi Hasan sebagai pihak yang berhak atas Hak Guna Usaha atas lahan
tersebut.
Studi Kasus
Dan Penyelesaian Terhadap Konflik Lahan
Negosiasi antar pihak –
pihak yang berkonflik perlu dilakukan karena tidak semua konflik lokal dapat
terselesaikan secara lokal karena beberapa otoritas dan kewenangan berada
ditataran pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan dan masalah lokal
perlu diangkat ketataran kabupaten atau provinsi dengan harapan tataran
tersebut dapat mendukung tercapainya penyelesaian melalui perbaikan dan
reformasi kebijakan, karena masalah penetapan kawasan secara administrasi sudah
sesuai dengan prosedur pelaksanaan tata penetapan dan pengelolaan kawasan hutan
pada saat itu. Disamping pemerintah, penggunaan mediator dalam penyelesaian
konflik sangat diperlukan agar masyarakat nantinya tidak merasa terintimidasi
dan curiga terhadap proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat
Dusun Matompi Tanah One.
Berdasarkan kondisi sosial
dan keadaan sumber daya alam tersebut maka pembentukan program KPH merupakan
alternatif solusi yang perlu mendapat perhatian dalam penyelesaian konflik
pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan pengelolaan KPH di Kabupaten Luwu Timur
dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi
hutan,kondisi DAS, kondisi ekonomi, sosial budaya, kelembagaan masyarakat serta
disesuaikan dengan kebijakan Pembangunan Daerah dan kebijakan Nasional yang
terkait dengan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh KPH,
meliputi kewajiban pelaksanaan pemberdayaan, Seperti, pendampingan penyusunan
rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas
atau kelembagaan. Pada areal hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan
atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui hutan desa dan hutan
kemasyarakatan.
Berdasarkan hasil tata guna
hutan dan lahan, disusun rencana pengelolaan hutan dan lahan pada setiap desa
dengan mempertimbangkan aspirasi, partisipasi, dan nilai budaya masyarakat,
serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut
memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan
pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Pada peta tata guna hutan
dan lahan desa juga tergambarkan lokasi-lokasi yang dapat dikembangkan dengan
pola agroforestry untuk pengembangan hutan rakyat pada lahan milik dan
pola-pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan atau pola Hutan tanaman rakyat (HTR)
pada kawasan hutan yang telah dirambah.
Pola - pola
Pengelolaan Kawasan Hutan
Ø Pola Hutan Kemasyarakatan
Konsep dasar yang
dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan
(Departemen Kehutanan, 1996). Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan
metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya
hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan
ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies). Ruang
lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan, meliputi :
-
Penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan
-
Perizinan dalam hutan kemasyarakatan
-
Hak dan kewajiban
-
Pembinaan, pengendalian dan pembiayaan
-
Sanksi
Kawasan hutan lindung yang
telah dirambah masyarakat pada Desa Pekaloa dapat ditetapkan sebagai areal
kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: a. Belum dibebani hak atau izin
dalam pemanfaatan hasil hutan; dan b. Menjadi sumber mata pencaharian
masyarakat setempat Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang
mempertemukan semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat,
produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan
pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan
pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam
pola-pola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat
secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara
nyata bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan
produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian
fungsi hutan. Sebagai contoh, pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan
produksi menurut (Departemen Kehutanan, 1999) dapat dilakukan dengan
memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi
melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral, silvofishery), baik
untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri.
Ø Pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Melihat kondisi, tata letak
serta status kawasan hutan pada kawasan Tanah One yang berstatus kawasan hutan
produksi, maka penanganan konflik penggunaan lahannya berbeda dengan kawasan
hutan matompi yang berstatus hutan lindung. Dimana hak-hak untuk penggunaan
hasil hutan kayu masih ditoleransi, sehingga penggunaan pola hutan tanaman
rakyat merupakan pola yang tepat untuk penyelesaian status penggunaan lahan
tersebut. Sebagaimana dalam PP No. 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bahwa Hutan
Tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur tertentu dalam rangka
menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil
hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih
sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan
lingkungannya.
Pemanfaatan hasil hutan kayu
pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Hutan Tanaman Rakyat sangat
penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan
akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada
masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan
masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Pemberian akses yang lebih
luas pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh
izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan hutan tanaman
mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat kekeliruan
dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian kayu, kebakaran
dan dampak negatif euphoria otonomi daerah. Pembangunan HTR pada hutan produksi
dimaksudkan agar konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dengan
pemerintah dapat terselesaikan, dimana masyarakat dapat memanfaatkan kawasan
hutan produksi secara optimal (memanfaatkan hasil kayu dan non kayu) tanpa
mengubah status dan fungsi kawasan.
KESIMPULAN
Dengan
adanya agroforestry konflik bisa dikendalikan karena agroforestry merupakan
suatu pola penggunaan lahan yang bertujuan mempertahankan atau meningatkan
hasil dengan efektif. Caranya dengan menanam suatu lahan dengan menggabungkan
antara tumbuhan berkayu (tanaman hutan) dengan tanaman pangan atau pakan ternak
dengan menggunakan praktik-praktik pengolahan yang sesuai dengan kondisi
ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya setempat. Pola penanaman agroforestry
umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman.
Berikut adalah jenis-jenis agroforestry :
A. Silviagrikultur
Merupakan campuran antara tanaman pangan (pisang, jagung, dan kopi)
dengan tanaman hutan di suatu lahan yang sama. Kombinasi ini dilakukan dengan
teknik pengaturan ruang, diantaranya penanaman pohon tepi, penanaman dalam
larikan berselang-seling, penanaman dalam jalur (strips) yang berselang-seling,
dan penanaman campuran secara acak.
B. Silvopastura
Silvopastura merupakan kombinasi penanaman tanaman hutan dengan tanaman
pakan ternak di lahan yang sama. Pola silvopastura tidak sama dengan padang
rumput yang digunakan untuk pemeliharaan ternak secara tradisional. Bentuk
campuran tanaman pada silvopastura sama seperti silviagrikultur. Contoh
aplikasi silvopastura yakni penanaman jati putih (Gmelina arborea)
dikombinasikan dengan tanaman turi (Sesbania glandifora) sebagai pakan hijauan
bagi ternak di dalam suatu lahan.
C. Silvofiseri
Silvofiseri merupakan kombinasi penanaman tanaman hutan dengan usaha
perikanan di lahan yang sama. Umumnya dilaksanakan di daerah hutan payau atau
daerah yang terpotong oleh sungai. Berbagai tanaman yang ditanam dapat membantu
pengendalian erosi dan sendimentasi tanah. Petani atau pembudidaya yang
melakukan pola ini masih relatif sedikit. Salah satu contoh aplikasi
silvofiseri adalah adanya tambak air payau ikan nila di area tanaman sengon.
D. Silviagrifiseri
Silviagrifiseri merupakan penggabungan antara usaha kehutanan, pertanian,
dan perikanan di lahan yang sama. Perpaduan usaha tersebut menghasilkan pangan,
hasil hutan, dan ikan. Contoh pola silviagrifiseri adalah kombinasi antara
tanaman mahoni yang diselingi dengan tanaman umbi garut dan terdapat kolam
buatan untuk ikan mas.
E. Silviagripastura
Adalah kombinasi antara usaha sektor kahutanan, pertanian, dan peternakan
dilahan yang sama. Hasil yang diperoleh dari pola ini berupa pangan, pakan
ternak, dan hasil hutan. Salah satu aplikasi silviagripastura yakni penanaman
kayu afrika, iles-iles (sejenis umbi-umbian), dan lamtoro gung (Leucaena
leucocephala). Keuntungan pola ini adalah dapat meningkatkan unsur hara di
dalam tanah dan dapat mengurangi resiko kegagala panen secara total.