alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 30 Oktober 2014

AGROFORESTRY SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK PEMANFAATAN LAHAH

AGROFORESTRY SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK PEMANFAATAN LAHAH
                Saat ini pengembangan sistem agroforestry tidak lagi hanya berfokus kepada masalah produksi dan produktivitas namun telah berkembang kepada hal - hal yang berkaitan dengan perhatian massyarakat secara global,sepeti kaitan dengan global warming, konflik memperebutkan lahan hutan dll.
            Pengembangan agroforestry mempunyai peluang yang cukup besar karena adanya beberapa alasan, antara lain adalah:
Ø  Adanya perubahan paradigma baru tentang pengeloloan hutan yang lebih mempertimbangkan pengelolaan sumberdaya alam dan usaha meningkatkan kesahjeteraan massyarakat yang hidup disekitar hutan dapan memberikan peluang besar untuk pengembangan agroforesty.
Ø  Meningkatnya kesadaran tentang pengetahuan lokal petani, membuka kesempatan yang luas untuk mempelajari praktek agroforestri yang telah berkembang sejak dahulu kala, yang kemungkinan dapat ditularkan ke tempat lain.
Ø  Besarnya luasan lahan terdegradasi (misalnya padang alang-alangdan hutan terdegradasi) memberikn kesempata untuk mengikutsertakan agroforestri dalam perogram rehabilitasilahan dan pengelolaan sumber daya alam.
            Perubahan pola perladangan
Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir, perladangan gilir balik – merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan ‘fase tanam atau fase produksi’ dan ‘masa bera’, yaitu masa dimana vegetasi dibiarkan bersuksesi secara alami. Ladang atau huma didefinisikan sebagai lahan berhutan yang dibersihkan untuk produksi tanaman pangan. Adakalanya tanaman ini dikombinasikan dengan tanaman semusim lainnya dan atau tanaman keras baik dalam satu kurun waktu atau dalam beberapa periode. Tujuannya adalah untuk konsumsi pribadi maupun dijual. Pada masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tanaman perintis berkayu dibiarkan tumbuh secara alami hingga berupa hutan. Proses penumpukkan serasah daun terjadi secara terus menerus. Tumbuhan lapisan bawah semakin jarang tumbuh. Selain itu, pada masa bera terjadi penumpukan unsur hara pada biomasa tanaman berkayu. Unsur hara ini dilepaskan kembali bilamana pembersihan lahan atau ‘tebas dan bakar’ dilakukan.Hampir semua sistem pertanian di Asia saat ini berasal dari sistem perladangan. Namun demikian, perubahan yang terjadi telah menyebabkan pola dasar dari sistem perladangan menjadi sulit dikenali. Proses perubahan ini berjalan dua arah dan tergantung pada kondisi eksternal, seperti fluktuasi harga serta pengaruh kebijakan (Colfer, komunikasi pribadi). Karena itu, keberlanjutan proses perubahan dari pola perladangan perlu lebih diperhatikan daripada hanya berkutat dalam perdebatan mengenai bentuk dasar sistem perladangan. Paham mengenai proses evolusi, baik alam maupun sosial ekonomi, seharusnya dipandang sebagai suatu proses perubahan secara bertahap dalam merespon tekanan seleksi. Dengan demikian, orang tidak hanya terjebak dalam pandangan bahwa perubahan selalu mengarah pada bentuk kehidupan yang ‘lebih tinggi’ tingkatannya.
Perladangan berkembang menjadi tiga model,yaitu:
1. ‘Agroforest’, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2. Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan bera  didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3. Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian.  Misalnya penggunaan tanaman penutup tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan
pupuk kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Sejumlah penelitian mengenai ‘perladangan’ difokuskan hanya pada fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah, sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan tanah. Penurunan dan peningkatan kesuburan tanah berlangsung seiring dengan produktivitas tanaman. Penurunan dan peningkatan produksi tanaman terjadi karena adanya interaksi fisik, kimia dan biologi tanah; dimana gulma, hama dan penyakit tidak mudah diuraikan oleh konfigurasi tanah setempat (Trenbath, 1989). Perbedaan jenis tanah, ruang tumbuh vegetasi dan kondisi iklim membuat hubungan saling mempengaruhi antar faktor menjadi lebih kompleks. Namun demikian, model penurunan dan pemulihan kesuburan tanah secara sederhana sebagaimana dikemukakan Trenbath (1989) sangat bermanfaat sebagai langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.
Konflik Setelah Adanya Penetapan Kawasan Hutan
v  Konflik horizontal
Konflik horizontal yang terjadi dalam masyarakat Desa Pekaloa terjadi antara individu yang masih bersaudara atau masih memiliki hubungan keluarga. Konflik ini berupa konflik sawah dan tanah dalam kawasan hutan yang diklaim sebagai hak masing-masing pihak berkonflik. Konflik yang terjadi di dalam masyarakat ini disebabkan oleh status tanah yang bersifat tanah “ongko”, tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, sehingga terjadi perbedaan prinsip salah satu pihak yang berkonflik.
v  Konflik Vertikal
Konflik vertikal terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Di Desa Pekaloa, khususnya Tanah One, konflik tersebut bersumber pada penetapan kawasan hutan tersebut sebagai hutan produksi, dimana pada tahun 2005 masyarakat Tanah One merasa keberatan dengan hadirnya Andi Hasan sebagai pihak yang berhak atas Hak Guna Usaha atas lahan tersebut.
Studi Kasus Dan Penyelesaian Terhadap Konflik Lahan
Negosiasi antar pihak – pihak yang berkonflik perlu dilakukan karena tidak semua konflik lokal dapat terselesaikan secara lokal karena beberapa otoritas dan kewenangan berada ditataran pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan dan masalah lokal perlu diangkat ketataran kabupaten atau provinsi dengan harapan tataran tersebut dapat mendukung tercapainya penyelesaian melalui perbaikan dan reformasi kebijakan, karena masalah penetapan kawasan secara administrasi sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan tata penetapan dan pengelolaan kawasan hutan pada saat itu. Disamping pemerintah, penggunaan mediator dalam penyelesaian konflik sangat diperlukan agar masyarakat nantinya tidak merasa terintimidasi dan curiga terhadap proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Dusun Matompi Tanah One.
Berdasarkan kondisi sosial dan keadaan sumber daya alam tersebut maka pembentukan program KPH merupakan alternatif solusi yang perlu mendapat perhatian dalam penyelesaian konflik pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan pengelolaan KPH di Kabupaten Luwu Timur dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi hutan,kondisi DAS, kondisi ekonomi, sosial budaya, kelembagaan masyarakat serta disesuaikan dengan kebijakan Pembangunan Daerah dan kebijakan Nasional yang terkait dengan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh KPH, meliputi kewajiban pelaksanaan pemberdayaan, Seperti, pendampingan penyusunan rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas atau kelembagaan. Pada areal hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan hasil tata guna hutan dan lahan, disusun rencana pengelolaan hutan dan lahan pada setiap desa dengan mempertimbangkan aspirasi, partisipasi, dan nilai budaya masyarakat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Pada peta tata guna hutan dan lahan desa juga tergambarkan lokasi-lokasi yang dapat dikembangkan dengan pola agroforestry untuk pengembangan hutan rakyat pada lahan milik dan pola-pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan atau pola Hutan tanaman rakyat (HTR) pada kawasan hutan yang telah dirambah.
Pola - pola Pengelolaan Kawasan Hutan
Ø  Pola Hutan Kemasyarakatan
Konsep dasar yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan (Departemen Kehutanan, 1996). Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies). Ruang lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan, meliputi :
-          Penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan
-          Perizinan dalam hutan kemasyarakatan
-          Hak dan kewajiban
-          Pembinaan, pengendalian dan pembiayaan
-          Sanksi
Kawasan hutan lindung yang telah dirambah masyarakat pada Desa Pekaloa dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: a. Belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan b. Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara nyata bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Sebagai contoh, pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut (Departemen Kehutanan, 1999) dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral, silvofishery), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri.
Ø  Pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Melihat kondisi, tata letak serta status kawasan hutan pada kawasan Tanah One yang berstatus kawasan hutan produksi, maka penanganan konflik penggunaan lahannya berbeda dengan kawasan hutan matompi yang berstatus hutan lindung. Dimana hak-hak untuk penggunaan hasil hutan kayu masih ditoleransi, sehingga penggunaan pola hutan tanaman rakyat merupakan pola yang tepat untuk penyelesaian status penggunaan lahan tersebut. Sebagaimana dalam PP No. 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bahwa Hutan Tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur tertentu dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Hutan Tanaman Rakyat sangat penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Pemberian akses yang lebih luas pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan hutan tanaman mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat kekeliruan dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian kayu, kebakaran dan dampak negatif euphoria otonomi daerah. Pembangunan HTR pada hutan produksi dimaksudkan agar konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah dapat terselesaikan, dimana masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan produksi secara optimal (memanfaatkan hasil kayu dan non kayu) tanpa mengubah status dan fungsi kawasan.














KESIMPULAN

Dengan adanya agroforestry konflik bisa dikendalikan karena agroforestry merupakan suatu pola penggunaan lahan yang bertujuan mempertahankan atau meningatkan hasil dengan efektif. Caranya dengan menanam suatu lahan dengan menggabungkan antara tumbuhan berkayu (tanaman hutan) dengan tanaman pangan atau pakan ternak dengan menggunakan praktik-praktik pengolahan yang sesuai dengan kondisi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya setempat. Pola penanaman agroforestry umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman.
Berikut adalah jenis-jenis agroforestry :
A. Silviagrikultur
Merupakan campuran antara tanaman pangan (pisang, jagung, dan kopi) dengan tanaman hutan di suatu lahan yang sama. Kombinasi ini dilakukan dengan teknik pengaturan ruang, diantaranya penanaman pohon tepi, penanaman dalam larikan berselang-seling, penanaman dalam jalur (strips) yang berselang-seling, dan penanaman campuran secara acak.
B. Silvopastura
Silvopastura merupakan kombinasi penanaman tanaman hutan dengan tanaman pakan ternak di lahan yang sama. Pola silvopastura tidak sama dengan padang rumput yang digunakan untuk pemeliharaan ternak secara tradisional. Bentuk campuran tanaman pada silvopastura sama seperti silviagrikultur. Contoh aplikasi silvopastura yakni penanaman jati putih (Gmelina arborea) dikombinasikan dengan tanaman turi (Sesbania glandifora) sebagai pakan hijauan bagi ternak di dalam suatu lahan.
C. Silvofiseri
Silvofiseri merupakan kombinasi penanaman tanaman hutan dengan usaha perikanan di lahan yang sama. Umumnya dilaksanakan di daerah hutan payau atau daerah yang terpotong oleh sungai. Berbagai tanaman yang ditanam dapat membantu pengendalian erosi dan sendimentasi tanah. Petani atau pembudidaya yang melakukan pola ini masih relatif sedikit. Salah satu contoh aplikasi silvofiseri adalah adanya tambak air payau ikan nila di area tanaman sengon.

D. Silviagrifiseri
Silviagrifiseri merupakan penggabungan antara usaha kehutanan, pertanian, dan perikanan di lahan yang sama. Perpaduan usaha tersebut menghasilkan pangan, hasil hutan, dan ikan. Contoh pola silviagrifiseri adalah kombinasi antara tanaman mahoni yang diselingi dengan tanaman umbi garut dan terdapat kolam buatan untuk ikan mas.
E. Silviagripastura

Adalah kombinasi antara usaha sektor kahutanan, pertanian, dan peternakan dilahan yang sama. Hasil yang diperoleh dari pola ini berupa pangan, pakan ternak, dan hasil hutan. Salah satu aplikasi silviagripastura yakni penanaman kayu afrika, iles-iles (sejenis umbi-umbian), dan lamtoro gung (Leucaena leucocephala). Keuntungan pola ini adalah dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah dan dapat mengurangi resiko kegagala panen secara total.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar