alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 30 Oktober 2014

Pola-Pola Penggunaan Lahan Kawasan Hutan

Pola-Pola Penggunaan Lahan Kawasan Hutan
a.      Kebun
Kebun adalah model penggunaan lahan yang terdiri atas tanaman tahunan antara lain pisang, coklat, cengkeh, dan merica. Biasanya masyarakat mengkombinasikan antara tanaman coklat dengan merica atau coklat dengan pisang. Pada kombinasi tanaman ini, biasanya tanaman coklatmerupakan tanaman dominan dan utama karena pengolahan dan harga yang relatif tinggi dan terkendali. Ada pula masyarakat yang menggunakan sistem monokultur dimana tanaman yang ditanam cuma coklat, cengkeh, atau merica saja.
b.      Sawah
Areal persawahan yang terdapat di Desa Pekaloa terdiri atas dua sistem, yaitu sawah irigasi non teknis dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi non teknis terdapat pada Basara dan Dusun Kampung Baru, sedang sawah tadah hujan terdapat di Dusun Matompi. Pola tanam yang diterapkan masyarakat pada sawahnya baik sawah irigasi non teknis maupun sawah tadah hujan yaitu menanam padi pada musim penghujan dan menanam jenis tanaman semusim berupa tanaman palawija seperti kacang tanah, kacang kedelai dan jagung pada musim kemarau.
c.       Tegalan
Tegalan adalah suatu usaha tani tanaman semusim atau tanaman pangan yangdilakukan secara sederhana tanpa upaya pengawetan tanah maupun penyuburan tanah. Pola ini yang banyak ditemukan di Dusun Matompi Desa Pekaloa. Pada pola ini jenis tanaman yang ditanam merupakan jenis tanaman semusim seperti jagung, kacang tanah, cabe,ubi kayu dan tomat. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan lahan kawasan hutan untuk areal perladangan/tegalan adalah areal lahan kering dengan periode tanam yang tergantung pada periode musim. Pola ini kebanyakan ditemukan di tepi jalan antar dusun, dimana kondisi lahannya kebanyakan berbatu dan kering.
d.      Wanatani Pekarangan
Pola wanatani pekarangan yang terdapat di dusun matompi desa Pekaloa berupa penanaman tanaman coklat di pekarangan sekitar rumah tempat tinggal dengan campuran tanaman gamal, merica, kelapa atau pisang. Pada pola ini, tanaman coklat dan merica dijadikan sebagai tanaman untuk perdagangan sedangkan tanaman seperti kelapa dan pisang, ataupun ubi kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun tanaman gamal yang ada pada pola ini yang diusahakan sebagai tanaman pelindung juga berfungsi sebagai tanaman pakan ternak.

e.       Pemukiman
Pemukiman merupakan suatu wilayah atau teritorial dimana masyarakat melangsungkan interkasi sosial. Pemukiman di dusun matompi sebagaimana layaknya desa – desa di Kabupaten Luwu Timur kebanyakan mengikuti jalur jalan.
f.       Hutan
Desa Pekaloa memiliki potensi hutan berupa kayu yakni damar, mahoni, pohon sagu dan nyatoh. Selain itu terdapat hasil hutan bukan kayu seperti bambu,madu alam, rotan dan aren. Kehidupan masyarakat Dusun Matompi tidak lepas dari pemanfaatan sumberdaya hutan. Mereka memanfaatkan sumberdaya hutan seperti kayu atau hasil hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Dusun Matompi mengambil ranting kayu atau kayu yang sudah mati dari hutan untuk kepentingan kayu bakar mereka sehari-hari, sedangkan batang kayu sebagai alat pertukanganuntuk pembangunan rumah. Selain itu masyarakat juga mengambil rotan dari hutan dan pemungutan madu serta nira aren serta pemanfaatan pohon sagu untuk pembuatan makanan.

Konflik Setelah Adanya Penetapan Kawasan Hutan
a.      Konflik horizontal
Konflik horizontal yang terjadi dalam masyarakat Desa Pekaloa terjadi antara individu yang masih bersaudara atau masih memiliki hubungan keluarga. Konflik ini berupa konflik sawah dan tanah dalam kawasan hutan yang diklaim sebagai hak masing-masing pihak berkonflik. Konflik yang terjadi di dalam masyarakat ini disebabkan oleh status tanah yang bersifat tanah “ongko”, tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, sehingga terjadi perbedaan prinsip salah satu pihak yang berkonflik.

b.      Konflik Vertikal
Konflik vertikal terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Di Desa Pekaloa, khususnya Tanah One, konflik tersebut bersumber pada penetapan kawasan hutan tersebut sebagai hutan produksi, dimana pada tahun 2005 masyarakat Tanah One merasa keberatan dengan hadirnya Andi Hasan sebagai pihak yang berhak atas Hak Guna Usaha atas lahan tersebut.




Studi Kasus Dan Penyelesaian Terhadap Konflik Lahan
Negosiasi antar pihak – pihak yang berkonflik perlu dilakukan karena tidak semua konflik lokal dapat terselesaikan secara lokal karena beberapa otoritas dan kewenangan berada ditataran pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan dan masalah lokal perlu diangkat ketataran kabupaten atau provinsi dengan harapan tataran tersebut dapat mendukung tercapainya penyelesaian melalui perbaikan dan reformasi kebijakan, karena masalah penetapan kawasan secara administrasi sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan tata penetapan dan pengelolaan kawasan hutan pada saat itu. Disamping pemerintah, penggunaan mediator dalam penyelesaian konflik sangat diperlukan agar masyarakat nantinya tidak merasa terintimidasi dan curiga terhadap proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat Dusun Matompi Tanah One.
Berdasarkan kondisi sosial dan keadaan sumber daya alam tersebut maka pembentukan program KPH merupakan alternatif solusi yang perlu mendapat perhatian dalam penyelesaian konflik pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan pengelolaan KPH di Kabupaten Luwu Timur dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe dan fungsi hutan,kondisi DAS, kondisi ekonomi, sosial budaya, kelembagaan masyarakat serta disesuaikan dengan kebijakan Pembangunan Daerah dan kebijakan Nasional yang terkait dengan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh KPH, meliputi kewajiban pelaksanaan pemberdayaan, Seperti, pendampingan penyusunan rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas atau kelembagaan. Pada areal hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan hasil tata guna hutan dan lahan, disusun rencana pengelolaan hutan dan lahan pada setiap desa dengan mempertimbangkan aspirasi, partisipasi, dan nilai budaya masyarakat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Pada peta tata guna hutan dan lahan desa juga tergambarkan lokasi-lokasi yang dapat dikembangkan dengan pola agroforestry untuk pengembangan hutan rakyat pada lahan milik dan pola-pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan atau pola Hutan tanaman rakyat (HTR) pada kawasan hutan yang telah dirambah.




Pola - pola Pengelolaan Kawasan Hutan

1.      Pola Hutan Kemasyarakatan
Konsep dasar yang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan (Departemen Kehutanan, 1996). Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies). Ruang lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan, meliputi :
-          Penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan
-          Perizinan dalam hutan kemasyarakatan
-          Hak dan kewajiban
-          Pembinaan, pengendalian dan pembiayaan
-          Sanksi
Kawasan hutan lindung yang telah dirambah masyarakat pada Desa Pekaloa dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: a. Belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan b. Menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat, produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara nyata bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan. Sebagai contoh, pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut (Departemen Kehutanan, 1999) dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry (agosilviculture, silvopastoral, silvofishery), baik untuk tujuan bisnis maupun keperluan sendiri.



2.      Pola Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Melihat kondisi, tata letak serta status kawasan hutan pada kawasan Tanah One yang berstatus kawasan hutan produksi, maka penanganan konflik penggunaan lahannya berbeda dengan kawasan hutan matompi yang berstatus hutan lindung. Dimana hak-hak untuk penggunaan hasil hutan kayu masih ditoleransi, sehingga penggunaan pola hutan tanaman rakyat merupakan pola yang tepat untuk penyelesaian status penggunaan lahan tersebut. Sebagaimana dalam PP No. 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bahwa Hutan Tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur tertentu dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.
Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Hutan Tanaman Rakyat sangat penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Pemberian akses yang lebih luas pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat dalam memperoleh izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan hutan tanaman mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat kekeliruan dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian kayu, kebakaran dan dampak negatif euphoria otonomi daerah. Pembangunan HTR pada hutan produksi dimaksudkan agar konflik vertikal yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah dapat terselesaikan, dimana masyarakat dapat memanfaatkan kawasan hutan produksi secara optimal (memanfaatkan hasil kayu dan non kayu) tanpa mengubah status dan fungsi kawasan.






KESIMPULAN

1.                          Pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat dalam kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi berbentuk kebun, sawah, tegalan dan wanatani pekarangan.
2.                          Klaim masyarakat atas pemanfaatan kawasan hutan adalah klaim lahan kelola sebagai tanah hak milik sebagai tanah warisan nenek moyang. Klaim masyarakat menimbulkan konflik secara horisontal dan secara vertikal. Konflik horizontal yang melibatkan individu dalam masyarakat, terjadi karena adanya klaim berdasarkan hak atas warisan dan hak atas pengelolaan, sedang konflik vertikal terjadi antara masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan degan pemerintah yang melarang adanya pemanfaatan kawasan hutan tanpa seisin dari instansi dinas kehutanan.
3.                          Resolusi konflik yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik klaim lahan sesuai status, fungsi dan kebijakan pengelolaan hutan adalah pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan pola hutan tanaman rakyat (HTR).

4.                          Tujuan bagi  masyarakat dengan pola HKM dan HTR sebaiknya dilakukan dengan menciptakan aneka usaha yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti peningkatan keterampilan dalam usaha budidaya kehutanan, perkebunan dan pertanian dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar