Pola-Pola Penggunaan Lahan
Kawasan Hutan
a.
Kebun
Kebun adalah
model penggunaan lahan yang terdiri atas tanaman tahunan antara lain pisang,
coklat, cengkeh, dan merica. Biasanya masyarakat mengkombinasikan antara
tanaman coklat dengan merica atau coklat dengan pisang. Pada kombinasi tanaman
ini, biasanya tanaman coklatmerupakan tanaman dominan dan utama karena
pengolahan dan harga yang relatif tinggi dan terkendali. Ada pula masyarakat
yang menggunakan sistem monokultur dimana tanaman yang ditanam cuma coklat,
cengkeh, atau merica saja.
b.
Sawah
Areal persawahan
yang terdapat di Desa Pekaloa terdiri atas dua sistem, yaitu sawah irigasi non
teknis dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi non teknis terdapat pada Basara dan
Dusun Kampung Baru, sedang sawah tadah hujan terdapat di Dusun Matompi. Pola
tanam yang diterapkan masyarakat pada sawahnya baik sawah irigasi non teknis
maupun sawah tadah hujan yaitu menanam padi pada musim penghujan dan menanam
jenis tanaman semusim berupa tanaman palawija seperti kacang tanah, kacang
kedelai dan jagung pada musim kemarau.
c.
Tegalan
Tegalan adalah
suatu usaha tani tanaman semusim atau tanaman pangan yangdilakukan secara
sederhana tanpa upaya pengawetan tanah maupun penyuburan tanah. Pola ini yang
banyak ditemukan di Dusun Matompi Desa Pekaloa. Pada pola ini jenis tanaman
yang ditanam merupakan jenis tanaman semusim seperti jagung, kacang tanah,
cabe,ubi kayu dan tomat. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan lahan kawasan
hutan untuk areal perladangan/tegalan adalah areal lahan kering dengan periode
tanam yang tergantung pada periode musim. Pola ini kebanyakan ditemukan di tepi
jalan antar dusun, dimana kondisi lahannya kebanyakan berbatu dan kering.
d.
Wanatani
Pekarangan
Pola wanatani
pekarangan yang terdapat di dusun matompi desa Pekaloa berupa penanaman tanaman
coklat di pekarangan sekitar rumah tempat tinggal dengan campuran tanaman
gamal, merica, kelapa atau pisang. Pada pola ini, tanaman coklat dan merica
dijadikan sebagai tanaman untuk perdagangan sedangkan tanaman seperti kelapa
dan pisang, ataupun ubi kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun
tanaman gamal yang ada pada pola ini yang diusahakan sebagai tanaman pelindung
juga berfungsi sebagai tanaman pakan ternak.
e.
Pemukiman
Pemukiman
merupakan suatu wilayah atau teritorial dimana masyarakat melangsungkan
interkasi sosial. Pemukiman di dusun matompi sebagaimana layaknya desa – desa
di Kabupaten Luwu Timur kebanyakan mengikuti jalur jalan.
f.
Hutan
Desa Pekaloa
memiliki potensi hutan berupa kayu yakni damar, mahoni, pohon sagu dan nyatoh.
Selain itu terdapat hasil hutan bukan kayu seperti bambu,madu alam, rotan dan
aren. Kehidupan masyarakat Dusun Matompi tidak lepas dari pemanfaatan
sumberdaya hutan. Mereka memanfaatkan sumberdaya hutan seperti kayu atau hasil
hutan non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Dusun Matompi
mengambil ranting kayu atau kayu yang sudah mati dari hutan untuk kepentingan
kayu bakar mereka sehari-hari, sedangkan batang kayu sebagai alat
pertukanganuntuk pembangunan rumah. Selain itu masyarakat juga mengambil rotan
dari hutan dan pemungutan madu serta nira aren serta pemanfaatan pohon sagu
untuk pembuatan makanan.
Konflik
Setelah Adanya Penetapan Kawasan Hutan
a.
Konflik
horizontal
Konflik
horizontal yang terjadi dalam masyarakat Desa Pekaloa terjadi antara individu
yang masih bersaudara atau masih memiliki hubungan keluarga. Konflik ini berupa
konflik sawah dan tanah dalam kawasan hutan yang diklaim sebagai hak
masing-masing pihak berkonflik. Konflik yang terjadi di dalam masyarakat ini
disebabkan oleh status tanah yang bersifat tanah “ongko”, tanah yang tidak
memiliki bukti kepemilikan lahan, sehingga terjadi perbedaan prinsip salah satu
pihak yang berkonflik.
b.
Konflik Vertikal
Konflik vertikal
terjadi antara masyarakat dengan pemerintah. Di Desa Pekaloa, khususnya Tanah
One, konflik tersebut bersumber pada penetapan kawasan hutan tersebut sebagai
hutan produksi, dimana pada tahun 2005 masyarakat Tanah One merasa keberatan
dengan hadirnya Andi Hasan sebagai pihak yang berhak atas Hak Guna Usaha atas
lahan tersebut.
Studi
Kasus Dan Penyelesaian Terhadap Konflik Lahan
Negosiasi antar
pihak – pihak yang berkonflik perlu dilakukan karena tidak semua konflik lokal
dapat terselesaikan secara lokal karena beberapa otoritas dan kewenangan berada
ditataran pemerintah yang lebih tinggi. Fakta, hasil temuan dan masalah lokal
perlu diangkat ketataran kabupaten atau provinsi dengan harapan tataran
tersebut dapat mendukung tercapainya penyelesaian melalui perbaikan dan
reformasi kebijakan, karena masalah penetapan kawasan secara administrasi sudah
sesuai dengan prosedur pelaksanaan tata penetapan dan pengelolaan kawasan hutan
pada saat itu. Disamping pemerintah, penggunaan mediator dalam penyelesaian
konflik sangat diperlukan agar masyarakat nantinya tidak merasa terintimidasi
dan curiga terhadap proses penyelesaian konflik yang terjadi pada masyarakat
Dusun Matompi Tanah One.
Berdasarkan
kondisi sosial dan keadaan sumber daya alam tersebut maka pembentukan program
KPH merupakan alternatif solusi yang perlu mendapat perhatian dalam
penyelesaian konflik pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan pengelolaan KPH di
Kabupaten Luwu Timur dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan,
tipe dan fungsi hutan,kondisi DAS, kondisi ekonomi, sosial budaya, kelembagaan
masyarakat serta disesuaikan dengan kebijakan Pembangunan Daerah dan kebijakan
Nasional yang terkait dengan Hutan Produksi. Pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat oleh KPH, meliputi kewajiban pelaksanaan pemberdayaan, Seperti,
pendampingan penyusunan rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat,
serta penguatan kapasitas atau kelembagaan. Pada areal hutan yang belum
dibebani izin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui
hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan hasil
tata guna hutan dan lahan, disusun rencana pengelolaan hutan dan lahan pada
setiap desa dengan mempertimbangkan aspirasi, partisipasi, dan nilai budaya
masyarakat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan kemasyarakatan
tersebut memuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi,
pengendalian, dan pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Pada
peta tata guna hutan dan lahan desa juga tergambarkan lokasi-lokasi yang dapat
dikembangkan dengan pola agroforestry untuk pengembangan hutan rakyat pada
lahan milik dan pola-pola hutan kemasyarakatan (HKM) dan atau pola Hutan
tanaman rakyat (HTR) pada kawasan hutan yang telah dirambah.
Pola
- pola Pengelolaan Kawasan Hutan
1.
Pola Hutan
Kemasyarakatan
Konsep dasar yang
dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan adalah partisipasi aktif masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraannya serta meningkatkan kelestarian fungsi hutan
(Departemen Kehutanan, 1996). Pengembangan hutan kemasyarakatan menggunakan
metode pemanfaatan ruang tumbuh atau bagian-bagian tertentu dari tanaman hutan
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumberdaya
hutan. Adapun komoditas yang bisa dikembangkan adalah aneka usaha kehutanan
ataupun jenis-jenis tanaman multi guna (multi purpose tree spesies). Ruang
lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan, meliputi :
-
Penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan
-
Perizinan dalam hutan kemasyarakatan
-
Hak dan kewajiban
-
Pembinaan, pengendalian dan pembiayaan
-
Sanksi
Kawasan hutan
lindung yang telah dirambah masyarakat pada Desa Pekaloa dapat ditetapkan
sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan ketentuan: a. Belum dibebani
hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan b. Menjadi sumber mata
pencaharian masyarakat setempat Hutan Kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi
yang mempertemukan semua kepentingan tersebut (kesejahteraan masyarakat,
produktifitas sumberdaya hutan dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan
yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan
hutan. Melalui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalam pola-pola managemen
lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung
dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara nyata bagi
kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan produktivitas
sumberdaya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian fungsi hutan.
Sebagai contoh, pelaksanaan hutan kemasyarakatan pada kawasan produksi menurut
(Departemen Kehutanan, 1999) dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil hutan
kayu dan non kayu dan atau jasa lingkungan rekreasi melalui model agroforestry
(agosilviculture, silvopastoral, silvofishery), baik untuk tujuan bisnis maupun
keperluan sendiri.
2.
Pola Hutan
Tanaman Rakyat (HTR)
Melihat kondisi,
tata letak serta status kawasan hutan pada kawasan Tanah One yang berstatus
kawasan hutan produksi, maka penanganan konflik penggunaan lahannya berbeda
dengan kawasan hutan matompi yang berstatus hutan lindung. Dimana hak-hak untuk
penggunaan hasil hutan kayu masih ditoleransi, sehingga penggunaan pola hutan
tanaman rakyat merupakan pola yang tepat untuk penyelesaian status penggunaan
lahan tersebut. Sebagaimana dalam PP No. 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bahwa Hutan
Tanaman rakyat yang selanjutnya disingkat HTR adalah hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur tertentu dalam rangka
menjamin kelestarian sumber daya hutan. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil
hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih
sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan
lingkungannya.
Pemanfaatan hasil
hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Hutan Tanaman
Rakyat sangat penting untuk segera diwujudkan sebagai kebijakan pemerintah
untuk memberikan akses hukum, akses ke lembaga keuangan dan akses pasar yang
lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi dalam kerangka
mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Pemberian
akses yang lebih luas pada dasarnya memberikan legalitas masyarakat setempat
dalam memperoleh izin pemanfaatan hutan produksi terutama dalam pembangunan
hutan tanaman mengingat begitu luasnya hutan-hutan produksi yang rusak akibat
kekeliruan dalam pengusahaan atau pemanfaatannya, perambahan dan pencurian
kayu, kebakaran dan dampak negatif euphoria otonomi daerah. Pembangunan HTR
pada hutan produksi dimaksudkan agar konflik vertikal yang terjadi antara
masyarakat dengan pemerintah dapat terselesaikan, dimana masyarakat dapat
memanfaatkan kawasan hutan produksi secara optimal (memanfaatkan hasil kayu dan
non kayu) tanpa mengubah status dan fungsi kawasan.
KESIMPULAN
1.
Pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat dalam kawasan hutan
lindung dan kawasan hutan produksi berbentuk kebun, sawah, tegalan dan wanatani
pekarangan.
2.
Klaim masyarakat atas pemanfaatan kawasan hutan adalah klaim
lahan kelola sebagai tanah hak milik sebagai tanah warisan nenek moyang. Klaim
masyarakat menimbulkan konflik secara horisontal dan secara vertikal. Konflik
horizontal yang melibatkan individu dalam masyarakat, terjadi karena adanya
klaim berdasarkan hak atas warisan dan hak atas pengelolaan, sedang konflik
vertikal terjadi antara masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan degan
pemerintah yang melarang adanya pemanfaatan kawasan hutan tanpa seisin dari
instansi dinas kehutanan.
3.
Resolusi konflik yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik
klaim lahan sesuai status, fungsi dan kebijakan pengelolaan hutan adalah pola
hutan kemasyarakatan (HKM) dan pola hutan tanaman rakyat (HTR).
4.
Tujuan bagi masyarakat
dengan pola HKM dan HTR sebaiknya dilakukan dengan menciptakan aneka usaha yang
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti peningkatan keterampilan
dalam usaha budidaya kehutanan, perkebunan dan pertanian dengan tetap
mempertahankan kelestarian hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar