PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan negara agraris yang selalu menghadapi masalah pangan terutama beras
sebagai suatu dilema yang tidak berkesudahan. Keterbatasan lahan produktif
menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut
adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan
besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik
tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di
antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di
Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena
variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut,
kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan
areal pertanian.
Berdasarkan
data Biro Pusat Statistik Indonesia (2012), bahwa produksi padi gabah kering
giling (GKG) pada Tahun 2011 yakni sebesar 65,38 juta ton, atau bila dikonversi
menjadi beras dengan rendemen 61 persen telah dihasilkan beras sebanyak 39,88
juta ton. Produksi tersebut dihasilkan dari areal tanaman padi seluas
13.224.379 hektar dengan produktivitas
rata-rata sebesar 4,944 ton per hektar.
Terlepas
dari kontroversi dari data Statistik Indonesia 2012 tentang telah terjadi
surplus beras, dan realita masih adanya impor beras dari luar negeri, ini
menunjukkan bahwa posisi ketahanan pangan beras di Indonesia masih terkategori
rawan. Secara nyata, memperhatikan data konsumsi beras pada Tahun 2011, dengan
diiringi peningkatan konsumsi beras pada Tahun 2020, maka untuk memenuhi
konsumsi di luar cadangan persediaan beras nasional, diperlukan tambahan
persediaan untuk konsumsi nasional sebesar 3 juta ton.
Secara
teori peningkatan luas penanaman padi dapat dilakukan pada lahan yang terlantar,
lahan kritis dan lahan sub optimal. Data dari Badan Pertanahan Nasional (2011)
melaporkan bahwa di Indonesia hingga April 2011 masih terdapat lahan terlantar
milik negara yang tidak tergarap dan
tidak bersertifikat seluas 7,3 juta hektar.
Pemanfaatan
lahan sub optimal tidak hanya dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan
terdegradasi yang terlantar tetapi harus dikelola dengan bijaksana agar tidak
melepas emisi gas rumah kaca. Lahan gambut yang kaya dengan cadangan karbon
bila dikonversi bila tidak memperhatikan pengaturan drainase dan konservasi
dengan aneka tanaman pepohonan akan menyebabkan terjadi subsidensi, dapat
penyebab sumber kebakaran bila musim kering yang berkepanjangan.
Pemanfaatan
lahan gambut dengan dilakukan konservasi bertujuan agar lahannya terus menerus
terdapat penutupan lahan, serta mampu menghasilkan tambahan cadangan karbon dan
mempertahankan stok karbon yang ada. Karbon diperhitungkan dari seluruh biomasa
bagian tanaman, yang meliputi biomasa yang di atas permukaan tanah (above
ground biomass) dan biomasa yang berada di bawah tanaman dan di dalam tanah
(below ground biomass). Biomasa atas meliputi bagian batang termasuk cabang dan
dahan bila tanaman tersebut adalah pohon bercabang, daun, buah dan bunga.
Biomasa bagian bawah adalah termasuk akar dan serasah serta tumbuhan lainnya,
baik tumbuhan yang masih hidup maupun tumbuhan yang telah mati, yang ada di
bawah pohon atau tanaman tersebut yang terhampar di atas tanah (Asmani et.al.,
2011).
Skema
penurunan emisi dari degradasi dan penciutan hutan atau REDD+ (Reducing
Emission from Degradation and Deforestation), yang sedang dilakukan negosiasi
agar dapat diratifikasi secara resmi, penyerapan karbon dapat merupakan potensi
untuk mendapatkan insentif pada perdagangan karbon.
BAHAN DAN METODE
Metode
yang dilakukan dalam penyajian ini dengan melakukan analisis data sekunder dari
berbagai penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Data serapan dan pelepasan
karbon diambil dari hasil penelitian; Asmani
et. al. (2011), Jauhanien et. al. (2004), dan hasil penelitian dari
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia
(2011).
Penghitungan pengayaan karbon pada
lahan gambut dengan aktifitas persawahan padi pasang surut tanpa tanaman silvikultur
berdasarkan asumsi dari jumlah kandungan karbon yang dapat dicegah pelepasan
emisinya dari kebakaran karena adanya kegiatan budidaya (silvikultur akasia)
yang dikurangi dengan besarnya karbon yang dilepas pada kegiatan budidaya
tanaman padi pada lahan pasang surut
yang terdegradasi. Sistem MPTS dengan menggunakan kombinasi secara proporsional
dengan luas lahan tanaman pangan seluas 80 persen atau 0,8 hektar dan
silvikultur seluas 20 persen atau 0,2 hektar).
HASIL
Pembukaan Lahan Padi yang Rendah Emisi
Sasaran
utama pembangunan pertanian sektor pangan selain dari kemandirian pangan dan
pengentasan kemiskinan yakni adalah untuk pembangunan pertanian yang
berkelanjutan. Dampak dari perubahan iklim pada sektor pertanian pangan
mengalami ketidakpastian pola tanam dan ancaman kekeringan dan banjir, yang
tentunya beresiko terhadap penurunan produksi. Upaya peningkatan produksi padi
yang dapat mencegah pelepasan emisi dapat dilakukan dengan upaya optimalisasi
penggunaan lahan yang tidak produktif atau kritis, revitalisasi lahan gambut
yang terlantar, pengembangan teknologi pengelolaan lahan tanpa bakar, dan peningkatan
produktivitas melalui indeks pertanaman (Kementerian Pertanian Republik
Indonesia, 2011).
Insentif
Karbon
Memasuki
era perdagangan karbon dalam skema REDD+, kegiatan penyerapan karbon tanaman
dalam proses negosisasi untuk diberikan suatu insentif karbon atau kredit karbon.
Insentif karbon diperoleh dari melakukan kegiatan mempertahankan kepermanenan
tegakan pohon, yang insentifnya diperhitungkan dari kandungan karbon
biomasanya. Kepermanenan populasi tanpa melakukan penebangan pohon pada batas
waktu tertentu atau dapat mempertahankan populasi jumlah tertentu.
PEMBAHASAN
Lahan
rawa gambut yang terdegradasi dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya padi melepas
emisi. Pelepasan emisi tersebut dikarenakan pada kegiatan persawahan padi
pasang surut dibangun sistem drainase yang menyebabkan terjadinya subsidensi
gambut. Lahan terlantar yang berpenutupan semak belukar dibiarkan terbuka terus
menerus pada musim kemarau panjang dapat menimbulkan kebakaran biomasa
dangambut. Hal yang positif dengan pemanfaatan lahan terdegradasi dapat
mencegah kebakaran hutan karena adanya tanaman budidaya yang dipelihara oleh
pengusahanya.
KESIMPULAN
Potensi
pengayaan karbondioksida dengan sistem MPTS kombinasi agribisnis padi dengan
silvikultur diperoleh sebesar 25,60 ton per hektar per tahun. Perluasan
produksi padi untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia sampai Tahun 2020,
dengan sistem MPTS seluas 2,82 juta
hektar diprediksi memperkaya stok karbondioksida sebesar 72,192 juta ton per
tahun. Besarnya potensi insentif karbon dengan sistem MPTS kombinasi agribisnis
padi dengan sistem silvikultur akasia akan diperoleh sebesar 2,100 juta rupiah per hektar per tahun. Dari target
perluasan tanaman padi di Indonesia seluas 2,82 juta yang menerapkan sistem
MPTS kombinasi agribisnis padi dengan sistem silvikuktur akasia diprediksi
perolehan insentif karbon sebesar 5,922 trilyun rupiah per tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar