alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 30 Oktober 2014

Model Agroforestry Dilahan Rawa Gambut

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris yang selalu menghadapi masalah pangan terutama beras sebagai suatu dilema yang tidak berkesudahan. Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Indonesia (2012), bahwa produksi padi gabah kering giling (GKG) pada Tahun 2011 yakni sebesar 65,38 juta ton, atau bila dikonversi menjadi beras dengan rendemen 61 persen telah dihasilkan beras sebanyak 39,88 juta ton. Produksi tersebut dihasilkan dari areal tanaman padi seluas 13.224.379 hektar dengan  produktivitas rata-rata sebesar 4,944 ton per hektar.
Terlepas dari kontroversi dari data Statistik Indonesia 2012 tentang telah terjadi surplus beras, dan realita masih adanya impor beras dari luar negeri, ini menunjukkan bahwa posisi ketahanan pangan beras di Indonesia masih terkategori rawan. Secara nyata, memperhatikan data konsumsi beras pada Tahun 2011, dengan diiringi peningkatan konsumsi beras pada Tahun 2020, maka untuk memenuhi konsumsi di luar cadangan persediaan beras nasional, diperlukan tambahan persediaan untuk konsumsi nasional sebesar 3 juta ton.
Secara teori peningkatan luas penanaman padi dapat dilakukan pada lahan yang terlantar, lahan kritis dan lahan sub optimal. Data dari Badan Pertanahan Nasional (2011) melaporkan bahwa di Indonesia hingga April 2011 masih terdapat lahan terlantar milik negara yang tidak tergarap dan  tidak bersertifikat seluas 7,3 juta hektar.
Pemanfaatan lahan sub optimal tidak hanya dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan terdegradasi yang terlantar tetapi harus dikelola dengan bijaksana agar tidak melepas emisi gas rumah kaca. Lahan gambut yang kaya dengan cadangan karbon bila dikonversi bila tidak memperhatikan pengaturan drainase dan konservasi dengan aneka tanaman pepohonan akan menyebabkan terjadi subsidensi, dapat penyebab sumber kebakaran bila musim kering yang berkepanjangan.

Pemanfaatan lahan gambut dengan dilakukan konservasi bertujuan agar lahannya terus menerus terdapat penutupan lahan, serta mampu menghasilkan tambahan cadangan karbon dan mempertahankan stok karbon yang ada. Karbon diperhitungkan dari seluruh biomasa bagian tanaman, yang meliputi biomasa yang di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomasa yang berada di bawah tanaman dan di dalam tanah (below ground biomass). Biomasa atas meliputi bagian batang termasuk cabang dan dahan bila tanaman tersebut adalah pohon bercabang, daun, buah dan bunga. Biomasa bagian bawah adalah termasuk akar dan serasah serta tumbuhan lainnya, baik tumbuhan yang masih hidup maupun tumbuhan yang telah mati, yang ada di bawah pohon atau tanaman tersebut yang terhampar di atas tanah (Asmani et.al., 2011).
Skema penurunan emisi dari degradasi dan penciutan hutan atau REDD+ (Reducing Emission from Degradation and Deforestation), yang sedang dilakukan negosiasi agar dapat diratifikasi secara resmi, penyerapan karbon dapat merupakan potensi untuk mendapatkan insentif pada perdagangan karbon.
BAHAN DAN METODE
            Metode yang dilakukan dalam penyajian ini dengan melakukan analisis data sekunder dari berbagai penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Data serapan dan pelepasan karbon diambil dari hasil penelitian; Asmani  et. al. (2011), Jauhanien et. al. (2004), dan hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia (2011).
            Penghitungan pengayaan karbon pada lahan gambut dengan aktifitas persawahan padi pasang surut tanpa tanaman silvikultur berdasarkan asumsi dari jumlah kandungan karbon yang dapat dicegah pelepasan emisinya dari kebakaran karena adanya kegiatan budidaya (silvikultur akasia) yang dikurangi dengan besarnya karbon yang dilepas pada kegiatan budidaya tanaman padi pada  lahan pasang surut yang terdegradasi. Sistem MPTS dengan menggunakan kombinasi secara proporsional dengan luas lahan tanaman pangan seluas 80 persen atau 0,8 hektar dan silvikultur seluas 20 persen atau 0,2 hektar).


HASIL
Pembukaan Lahan Padi yang Rendah Emisi
Sasaran utama pembangunan pertanian sektor pangan selain dari kemandirian pangan dan pengentasan kemiskinan yakni adalah untuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Dampak dari perubahan iklim pada sektor pertanian pangan mengalami ketidakpastian pola tanam dan ancaman kekeringan dan banjir, yang tentunya beresiko terhadap penurunan produksi. Upaya peningkatan produksi padi yang dapat mencegah pelepasan emisi dapat dilakukan dengan upaya optimalisasi penggunaan lahan yang tidak produktif atau kritis, revitalisasi lahan gambut yang terlantar, pengembangan teknologi pengelolaan lahan tanpa bakar, dan peningkatan produktivitas melalui indeks pertanaman (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).
            Insentif Karbon
Memasuki era perdagangan karbon dalam skema REDD+, kegiatan penyerapan karbon tanaman dalam proses negosisasi untuk diberikan suatu insentif karbon atau kredit karbon. Insentif karbon diperoleh dari melakukan kegiatan mempertahankan kepermanenan tegakan pohon, yang insentifnya diperhitungkan dari kandungan karbon biomasanya. Kepermanenan populasi tanpa melakukan penebangan pohon pada batas waktu tertentu atau dapat mempertahankan populasi jumlah  tertentu.
PEMBAHASAN
Lahan rawa gambut yang terdegradasi dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya padi melepas emisi. Pelepasan emisi tersebut dikarenakan pada kegiatan persawahan padi pasang surut dibangun sistem drainase yang menyebabkan terjadinya subsidensi gambut. Lahan terlantar yang berpenutupan semak belukar dibiarkan terbuka terus menerus pada musim kemarau panjang dapat menimbulkan kebakaran biomasa dangambut. Hal yang positif dengan pemanfaatan lahan terdegradasi dapat mencegah kebakaran hutan karena adanya tanaman budidaya yang dipelihara oleh pengusahanya.



KESIMPULAN

Potensi pengayaan karbondioksida dengan sistem MPTS kombinasi agribisnis padi dengan silvikultur diperoleh sebesar 25,60 ton per hektar per tahun. Perluasan produksi padi untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia sampai Tahun 2020, dengan  sistem MPTS seluas 2,82 juta hektar diprediksi memperkaya stok karbondioksida sebesar 72,192 juta ton per tahun. Besarnya potensi insentif karbon dengan sistem MPTS kombinasi agribisnis padi dengan sistem silvikultur akasia akan diperoleh sebesar 2,100  juta rupiah per hektar per tahun. Dari target perluasan tanaman padi di Indonesia seluas 2,82 juta yang menerapkan sistem MPTS kombinasi agribisnis padi dengan sistem silvikuktur akasia diprediksi perolehan insentif karbon sebesar 5,922 trilyun rupiah per tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar