PENDAHULUAN
Latar Belakang
Amarasi merupakan salah satu dari 22
kecamatan di Kabupaten Kupang Nusa TenggaraTimur (NTT) yang terdiri dari 7 buah
desa dan tiga di antaranya yakni desa Oesena, Ponain dan Tesbatan merupakan lokasi
studi kasus. Luas wilayah Kecamatan Amarasi saat ini adalah 154,9 km2 dengan
kepadatan penduduk 91 orang per km2. Kondisi iklim di daerah ini, seperti yang
dipublikasikan oleh beberapa penulis, adalah kering yang dipengaruhi oleh angin
muson tenggara yang bertiup dari Australia dimana musim kemaraunya cukup
panjang (8–9 bulan) (Nulik et al. 1999; Kapa 1999; Piggin 2003) dengan curah
hujan tahunan pada tahun 2004 berkisar antara 12,7 mm (bulan Mei) sampai 463,8
mm (bulan Februari).
Suhu dan kelembaban tertinggi terjadi
pada bulan Desember masing-masing 33,5°C dan 92 persen. Evaporasi rate berkisar
antara 4 sampai 9 mm per hari dan dalam setahun dapat mencapai total 2000 mm (BPS
Kabupaten Kupang 2004). Keadaan di atas ditambah kondisi topografi daerah yang
bergelombang sampai berbukit serta tanah yang bersifat calcacerous dengan pH
berkisar antara 8–9 menyebabkan sulit bagi tanaman untuk bertumbuh dengan baik.
Oleh karena itu yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan pertanian di
daerah Amarasi adalah aspek konservasi tanah maupun air. Hal ini perlu dalam
rangka mengantisipasi musim hujan yang singkat berakibat pada kurangnya
ketersediaan air.
Pada kondisi seperti ini petani
peternak mengalami kesulitan dalam usahatani maupun usaha ternak. Hal ini
berdampak lanjut pada rendahnya produktivitas pertanian dan peternakan di
daerah ini. Dengan demikian diperlukan pengenalan terhadap sistem usahatani
yang telah ada di Amarasi untuk diperbaiki dalam kerangka Integrated Rural
Develpoment.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu membahas
kajian dari beberapa hasil studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Amarasi
Kabupaten Kupang terkait produktivitas usahatani dan ternak dalam sistem
usahatani terpadu di Amarasi.
PEMBAHASAN
Potensi Sumberdaya
Kecamatan Amarasi sebagaimana
dijelaskan di depan memiliki wilayah sekitar 2,6 persen dari luas Kabupaten
Kupang. Jumlah penduduk Kecamatan Amarasi pada Tahun 2004 adalah 14.113 orang
yang terdiri dari 7.273 laki-laki dan 6.840 perempuan tergabung dalam 3.371
rumah tangga serta tidak kurang dari 75 persen penduduknya bekerja di sektor
pertanian dengan pendapatan perkapita yang relatif rendah yakni Rp974.000 (BPS
Kabupaten Kupang 2004). Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa lahan kering
menjadi tumpuan kegiatan pertanian di Kecamatan Amarasi. Sedangkan di sektor
peternakan didominasi oleh ternak sapi dan unggas. Luas lahan sawah 300 ha
merupakan sawah tadah hujan berpengairan
sederhana.
Pola Usahatani di Amarasi
Pengelolaan
usahatani di Amarasi menurut hasil penelitian selama tahun 1994–2004 di tiga desa
(Oesena, Ponain, dan Tesbatan) dilaksanakan pada empat jenis lahan yakni:
·
Usahatani lahan
kering (usahatani ladang)
Sistem
ladang di Amarasi dicirikan oleh sistem tebas-bakar (slash-and-burn systems).
Komoditas yang ditanam pada usahatani ladang adalah jagung sebagai tanaman
utama, kacang gude (Cajanus cajan), labu dan ubi kayu. Jagung,
kacang dan labu ditanam pada satu lubang pada bulan Desember dan dipanen pada
bulan April atau Mei. Sedangkan ubi kayu ditanam diantara tanaman utama pada
waktu yang sama dan dipanen pada bulan Agustus sampai Oktober. Rata-rata
produksi jagung pada tahun 2004 adalah 1,21 ton ha–1, kacang 0,34 ton ha–1, ubi
kayu 2,560 umbi per ha, serta 35 karung plastik kacang tanah per ha. Gambar 1
memperlihatkan pola tanam petani di lahan kering dan sawah di Amarasi.
·
Usahatani pekarangan
Sebagaimana
halnya di ladang tanaman jagung juga menjadi tanaman utama di lahan pekarangan yang
ditumpangsarikan dengan kacang dan ubi kayu (Kapa 2004). Beberapa tanaman
tahunan dalam jumlah kecil seperti kelapa, nangka dan tanaman makanan ternak
misalnya lamtoro, gamal dan galagala juga ditanam di pekarangan. Jagung yang ditanam
biasanya varietas umur pendek dengan maksud untuk menyediakan sumber makanan
bagi keluarga. Produksi jagung dari lahan pekarangan sangat sulit untuk
diketahui namun menurut estimasi para petani sekitar 760 kg/ha.
·
Usahatani Sawah
Hasil penelitian Kapa (2004)
menyatakan tidak semua petani di Amarasi memiliki lahan sawah, dari 50 responden
yang diwawancarai hanya 20 % petani yang mengusahakan sawah. Rata-rata luas
lahan sawah per kepala keluarga (per farm) hanya 0,32 ha.Pada lahan ini
diusahakan tanaman padi (monocrop) dengan pola umum padi–bera, namun di
desa Tesbatan dengan memanfaatkan musim hujan dan ketersediaan mata air polanya
adalah padi–sayur–bera. Waktu tanam umumnya dimulai pada akhir bulan Desember
sampai Januari dan dipanen sekitar bulan Maret/April. Pada pola pertama setelah
padi dipanen maka lahan dibera
sampai musim tanam berikutnya. Sedang pada pola tanam kedua,
setelah padi dipanen lahan dibiarkan beberapa saat (1–2 minggu) kemudian diolah
untuk menanam sayur. Rata-rata produksi padi 1,7 ton ha–1. Sedangkan dari
usahatani sayur karena sulit untuk mendapatkan produksi fisik sehingga dinilai
dengan rupiah. Hasil studi menunjukkan rata-rata pendapatan
petenai sebesar Rp
2.250.000 per tahun.
·
Usahatani mamar
Mamar (tradisional agroforestry)
adalah lahan yang biasanya terletak dekat mata air atau sungai. Tetapi mamar
kering tidak harus dekat dengan mata air. Rata-rata luas lahan mamar 0,47 ha.
Mamar identik dengan tanaman kelapa, pinang, sirih, pisang, nagka dan beberapa
tanaman hijauan makanan ternak seperti lamoro, gala-gala dsbnya. Pemilikan
mamar biasanya diturunkan dari generasi ke generasi dan luasnya makin lama
makin sempit. Pada tahun 1994, rata-rata luas lahan mamar di Amarasi 0.6 ha dan
pada tahun 2004 menjadi 0,47 ha. Hal ini terjadi karena ada fragmentasi lahan
dan pertambahan jumlah penduduk. Selain kelapa, hasil dari tanaman lainnya
sulit diukur dalam bentuk fisik tetapi petani menyatakan bahwa mamar mempunyai
peranan penting dalam menyediakan uang tunai untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Pada tahun 2004 penghasil rata-rata dari mamar yang diperoleh dari penjualan
kelapa dan produk lainnya adalah sebesar Rp. 672.000.
Usaha Ternak di Amaras
Usaha ternak merupakan bagian integral
dari sistem usahatani di Amarasi. Ternak yang banyak dipelihara adalah sapi,
dan unggas sedangkan ternak lainnya dipelihara dalam jumlah kecil. Sebagian
besar dari usahaternak sapi dipelihara dengan cara ekstensif tradisional dimana
intervensi pemilik terhadap usaha ternak sangat minim. Pada sistem pemeliharan
ini biasanya pada siang hari sapi dibiarkan merumput di padang penggembalaan
umum, atau di kebun milik peternak dan pada malam hari dikandangkan. Namun dengan
meningkatnya derajat komersialisasi ternak sapi mendorong peternak untuk
melakukan sistem pemeliharaan yang lebih produktif. Sistem ini dikenal dengan
sistem paron atau sistem Amarasi yang berbasis lamtoro.
Sejak diperkenalkan pada tahun 1971,
sistem paron menarik minat peternak untuk memeliharanya sapi paron dan
bersandar sepenuhnya pada lamtoro sebagai sumber utama pakan. Dengan pemberian lamtoro
sebanyak 15–20 kg daun segar perhari dapat menaikan berat badan 0,5–1 kg per
hari. Dengan demikian untuk mencapai berat pasar sekitar 350 kg dari berat
badan awal 150 kg membutuhkan waktu hanya 3–6 bulan dan dapat memberikan
kontribusi 30–70 % terhadap pendapatan petani. Adanya serangan kutu loncat pada
lamtoro di awal tahun 1986 telah menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak
langsung pada penurunan produktivitas usahatani dan ternak di Amarasi seperti
yang dilaporkan Mudita dan Kapa (1987) dan Widiyatmika et al. (1989). Misalnya
produksi tanaman jagung turun sebesar 53 persen, sedang bagi sapi paron kekurangan
lamtoro menyebabkan masa pemeliharaan menjadi lebih lama dan jumlah sapi paron
juga berkurang dari rata-rata 7 ekor sebelum tahun 1987 menjadi rata-rata 3
ekor per tahun. Tidak jarang petani harus berjalan sejauh 1–3 km perhari guna mendapatkan
HMT. Guna mengatasi hal ini peternak juga mencari sumber HMT alternatif seperti
galagala, kapok, limbah pertanian disamping lamtoro.
Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja dalam
pelaksanaan usahatani masih didominasi oleh tenaga kerja manusia yang bersumber
dari dalam keluarga dan dari luar keluarga berupa tenaga gotong royong sedang
sistem upahan jarang dilakukan. Kapa (2001) melaporkan kurang lebih 11.000 jam
per keluarga yang digunakan setiap tahun untuk melakukan aktivitas usahatani. Dari
jumlah tersebut 48 persen digunakan untuk tanaman pangan, 37,5 persen untuk
usaha ternak dan sisanya untuk kegiatan off farm. Intensitas penggunan tenaga
kerja berhubung erat dengan musim. Penggunaan tenaga kerja yang paling intensif
terjadi menjelang dan pada musim hujan (Oktober dan April). Pada bulan lain intensitasnya
berkurang, bahkan pada bulan-bulan tertentu intensitasnya sangat rendah. Untuk
itu perlu dipikirkan pembukaan lapangan kerja guna memanfaatkan tenaga kerja
yang ada.
Kendala Usahatani
Produktivitas hasil beberapa komoditas
tanaman pangan yang dicapai oleh petani dari tiga desa kasus di Amarasi
(Oesena, Ponain, dan Tesbatan) umumnya masih rendah bila dibandingkan dengan hasil
produksi potensial yang bisa dicapai. Hal ini terjadi karena kendala teknis
maupun kendala sosial ekonomi. Keterbatasan air, penyediaan varietas, pemupukan,
dan pengendalian hama dan penyakit masih merupakan kendala utama di desa-desa
kasus. Dari segi penyediaan tenaga kerja, tenaga kerja utama adalah tenaga
kerja manusia namun dari segi pemanfaatannya masih kurang produktif. Tenaga kerja
ternak walaupun tersedia namun pemanfaatannya masih sangat terbatas, lahan
usahatani yang dimiliki sempit dan kurang subur juga merupakan kendala utama.
Kendala sosial ekonomi ditandai dengan motivasi yang sedang disertai kurangnya
keterampilan. Walaupun tersedia sarana penunjang kelembagaan namun peranannya
kurang aktif dan tidak lancar, terbatasnya kredit modal kerja, serta tidak
tersedianya teknologi di tingkat desa menjadi kendala pengembangan usahatani.
Kendala Usaha Ternak
Musim hujan yang singkat disertai
dengan belum pulihnya tanaman primadona lamtoro menyebabkan minimnya suplai
pakan baik jumlah maupun mutu bagi ternak NTT. Hal ini berdampak pada rendahnya
produktivitas ternak sapi seperti yang dijelaskan di atas. Tumbuhan yang
relatif lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan jenis-jenis sumber hijauan
lain seperti lamtoro kini tidak lagi menjadi pemasok utama hijauan bagi ternak
yang bergizi tinggi dan palatable dan juga sebagai tumbuhan penyubur tanah
sekaligus pencegah erosi tidak dapat lagi diandalkan sepenuhnya karena adanya
invasi kutu loncat. Kejadian ini telah mengganggu produktivitas pertanian di
daerah ini.
Masalah menurunnya produktivitas ternak
dipengaruhi oleh beragam faktor yakni (1) faktor lingkungan seperti kurangnya
ketersediaan pakan yang berkualitas serta keberagaman HMT alternatif yang
rendah, penyakit, (2) faktor biologi misalnya tingkat kematian anak (calf
mortality) cukup tinggi bahkan pada kondisi tertentu bisa mencapai 30 persen,
(3) faktor managemen berhubungan dengan sistem pemeliharaan. Dimana sebagian
besar peternak masih menggunakan sistem ekstensif seh-136 hingga kontrol
terhadap breeding, feeding dan penyakit sangat rendah, dan (4) Sosial ekonomi berhubungan
dengan kurangnya modal, kurangnyaakses terhadap fasilitas kredit dan pasar,
serta diperburuk oleh krisis ekonomi yang terjadi saat ini.
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Persoalan pokok yang dihadapi saat ini
rendahnya produtivitas tanaman dan ternak di daerah Amarasi yang disebabkan oleh adanya beberapa kendali
baik itu teknis, biologi, manajemen maupun sosioal ekonomi. Namun demikian ada
potensi yang dapat dikembang untuk meningkatkan produktivitas usahatani di
Amarasi. Setelah melihat potensi dan kendala-kendala usahatani/ ternak di atas
maka ke depan perlu dipikirkan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya kolaborasi baru antara pihak Indonesia (baca: NTT)
dengan badan atau lembaga-lembaga dana Australia atau Internasional lainnya
dalam konteks pembangunan pedesaan terpadu serta mempererat kolaborasi yang
sudah ada baik dalambentuk bantuan dana, ekpertis, maupun penelitian dengan
penekanan pada upaya mendukung pembangunan pertanian dalam rangka menciptakan
usaha pertanian yang efisien, berorientasi pasar, agribisnis dan agroindustri
di daerah pedesaan.
2. Bidang lain yang perlu mendapat perhatian untuk diteliti
adalah adanya kerjasama untuk mengkaji upaya konservasi tanah dan air termasuk
teknologi penampungan air, bioteknologi, teknologi pasca panen dan penanganan
hama penyakit tanaman secara terpadu.
3. Di bidang tanaman pangan adalah adanya peningkatan hasil
usahatani melalui penyediaan benih yang berproduksi tinggi, umur pemdek, tahan
kekeringan dan hama/penyakit.
4. Di bidang peternakan perhatian diarahkan pada kerjasama dalam
pengkajian feeding strategy untuk mengatasi masalah kekurangan pakan pada musim
kemarau, pendirian breeding stock untuk ternak sapi dalam rangka perbaikan mutu
genetik sapi bali termasuk di dalamnya penggunaan indigenous genetik stocks
serta aspek kesehatan ternak.
Daftar Pustaka
BPS Kabupaten Kupang 2004. Kupang dalam Angka 2004. Kupang.
Kapa M.M.J. 1994. A comparison of cattle management systems in
Kupang district, East Nusa Tenggara province, Indonesia. Master of Agricultural
Science Thesis. The University of Melbourne, Australia.
— 2004. A whole farm analysis of livestock production systems in
West Timor. Unpublished Report. Nusa Cendana University. Mudita I. W. and Kapa
M.M.J. 1987. Dampak Serangan Kutu Loncat pada Lamtoro terhadap Sistem
Pemeliharan Ternak Sapi Paron. Laporan Penelitian Sub-Kelompok Penelitian Dasar
Program Litbang Pertanian Lahan
Kering, Kepas Undana.
Nulik J., Hosang E. dan Lidjang I.K. 1999. Profil dan KarakterZona
Agroekologi pada Delapan Kabupaten- Perakitan Teknologi di Nusa Tenggara Timur.
Makalah yang disampaikan pada Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi di BPTP
Naibonat Kupang, 30 September–1 Oktober 1999.
Piggin C. 2003. The role of Leucaena in swidden cropping and
livestock production in Nusa Tenggara Timur Province, Indonesia. In
‘Agriculture: new directions for a new nation—East Timor’, ed by H. Da Costa,
C. Piggin, Cecar da Cruz and J.J. Fox. ACIAR Proceedings No. 13.
Widiyatmika M., Kaunang S. dan Kapa M.M.J. 1989. Dampak Serangan
Kutu Loncat Lamtoro Terhadap Sosial Ekonomi Petani di Kecamatan Amarasi
Kabupaten Kupang. Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana. Unpublished
Report. Kupang, Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar